Bersembahyang
bisa di mana saja. Di kamar bisa, di ruang tamu dengan menggelar tikar, juga
bisa. Di ruang kelas pun bisa, terutama buat pelajar. Bersembahyang di kamar
kerja, bagi pegawai negeri dan karyawan swasta, juga sudah biasa dilakukan di
kota-kota besar. Kalau di luar ada suara hiruk pikuk yang mengganggu
konsentrasi, saya biasanya memutar kaset tabuh gong atau kidung yadnya.
Tujuannya adalah membawa pikiran pada satu fokus yang paling memungkinkan untuk
mencapai suasana religius.
Kalau
bersembahyang bisa di mana saja, asal jangan di perempatan jalan yang lagi
ramai lalu lintasnya, untuk apa mengunjungi pura? Kenapa umat berduyun-duyun
pergi ke pura tri kahyangan pada saat hari raya Galungan yang lalu? Kenapa Pura
Luhur Batukaru penuh sesak pada saat Manis Galungan yang lalu? Dan apa pula
penyebabnya umat berbondong-bondong datang ke Kintamani, bukan untuk melihat
Danau Batur, tetapi bersembahyang ke Pura Ulun Danu pada Purnama Kedasa, Jumat
kemarin? Suasana ramai dan meriah itu akan terulang kembali pada minggu depan,
Senin Kliwon di Pura Dasar Gelgel dan Sabtu Kliwon di Pura Sakenan.
Jelas
ada daya tariknya kenapa pura dikunjungi. Yang pertama-tama dalam pikiran
masyarakat tradisional adalah pura itu "tempat tinggal" Sesuhunan,
Dewa, Bethara, Hyang Widhi. Mereka tak perlu lagi memerinci apa beda Dewa,
Bethara, dan Hyang Widhi itu. Kebanyakan umat hanya tahu ke pura untuk
bersembahyang, tak menghiraukan dengan teliti apakah persembahyangan itu di
depan meru, bale gedong, atau padmasana. "Sembahyang untuk memuja Tuhan,"
kata keponakan saya yang baru kelas dua SD. Bagi dia sama saja, bersembahyang
di merajan, di Pura Puseh, di Pura Mekori, di Pura Ulun Danu Batur, semuanya
memuja kepada Tuhan.
Baru-baru
ini anak saya bersama teman-temannya melakukan tirtayatra ke berbagai pura,
sebagai rasa syukurnya karena baru saja lulus ujian di Fakultas Teknik
Universitas Udayana. Melihat pura yang dikunjungi dan alasannya, saya
memastikan pemahaman dia tentang pura dan siapa yang "diam"
(berstana) di sana, lebih bagus dari keponakan saya yang kelas dua SD itu. Saya
kemudian menyarankan, bagaimana kalau mengunjungi pura (tirtayatra) itu dengan
cara-cara yang dikehendaki oleh para leluhur kita, yakni pikiran kita sudah
dibawa ke alam keheningan sebelum sampai di pura. Anak saya bertanya, apa
maksudnya?
Para
leluhur kita mendirikan pura atau meninggalkan warisan tempat suci yang
kemudian oleh pengikutnya dibangun pura, lebih banyak di tempat-tempat di mana
orang harus melakukan "perjalanan penuh rintangan" sebelum sampai ke
pura itu. Pura Ulun Danu Batur, sebagaimana namanya, berada di pinggir danau,
yang dahulu kala harus dicapai dengan berjalan kaki di terjal-terjal. Pura
Lempuyang dibangun di puncak gunung, di mana orang harus datang ke sana
melewati jalan yang kiri kanannya tebing curam. Pura Sakenan berada di tengah
pulau, dan umat yang datang harus naik perahu atau berjalan kaki dengan
memperhitungkan naik turunnya air laut. Begitu pula Pura Tanah Lot berada di
karang yang dipisahkan dengan air laut yang kadangkala bisa pasang. Apa yang
dimaui para leluhur kita di masa lalu itu? Kenapa tidak membangun pura di
tempat pemukiman biasa saja, seperti Mpu Kuturan menganjurkan membuat pura tri
kahyangan dan "pura modern" seperti Pura Jagatnatha?
Jawabnya
adalah para leluhur itu ingin umat yang datang menyadari adanya
"rintangan" dalam perjalanan itu. Dengan adanya "rintangan"
itu, umat sudah terkonsentrasi untuk mendekatkan dirinya kepada Hyang Widhi
atau leluhur kita yang sudah menyatu dengan Hyang Widhi, yang akan kita sembah
di sana. "Rintangan" itu tak lain adalah cara tak langsung untuk
melakukan japa dan juga samadhi, sehingga begitu sampai di pura, pikiran
otomatis sudah terfokus dan persembahyangan langsung bisa dimulai
SEKARANG
"rintangan" itu sudah dihilangkan oleh manusia-manusia modern. Pulau
Serangan di mana Pura Sakenan berada sudah menyatu dengan Bali. Orang datang
naik mobil dan motor, menderu-deru sampai depan pura. Lalu bertengkar dengan
tukang parkir, atau mengumpat karena mobilnya keserempet, atau ngedumel karena
parkirnya susah, dan langsung masuk pura. Pikiran apakah yang dibawanya ketika
berada di jeroan pura, dan langsung dituntun bersembahyang? Pikiran yang masih
penuh marah, pikiran yang masih ngedumel, setidak-tidaknya jauh dari rasa
hening. Padahal dulu, ketika saya sekeluarga pergi ke Pura Sakenan dan masih
naik jukung, semuanya seperti terpaku hening dan berdoa agar selamat sampai di
tujuan.
Beberapa
tahun lalu, saya punya kisah yang bisa dikenang ketika sekeluarga ke Pura Dasar
Gelgel pas di hari Pemacekan Agung. Bayangkan betapa ramainya. Anak saya kecil,
berdesak-desakan. Ada yang mendorong dari belakang, istri saya yang melindungi
anak saya, kena sikut mukanya. Ia menegor lelaki yang menyikutnya. Lelaki itu
tersinggung dan marah, lalu istri saya ikut marah. Apa yang saya lakukan? Saya
menarik tangan istri saya dan anak saya ke luar dari kerumunan, lalu duduk di
bale gong. Anak saya bertanya, kenapa mengaso? Saya jawab, apa gunanya
bersembahyang ketika pikiran masih dipenuhi rasa marah dan dendam. Kami
istirahat sejenak, mendengarkan bunyi gamelan, setelah pikiran tenang baru
masuk ke jeroan.
Sekarang
ini pengaturan masuk di Pura Dasar Gelgel di hari Pemacekan Agung sudah
berlapis tiga dan mulai tertib. Tetapi masih saja ada dorong-mendorong, dan ada
maki-makian di antara pengunjung. Suasana seperti ini hampir terjadi di setiap
pura kalau ada pujawali besar. Termasuk Pura Besakih. Penyebabnya adalah
kawasan suci pura sudah makin sempit. Dan manusia-manusia modern sudah
mempersempitnya lagi dengan memberikan akses masuk bagi kendaraan, pedagang,
dan sebagainya ke lokasi paling dekat pura. Akibatnya, umat ke pura selalu
dalam posisi grasa-grusu (tergesa-gesa dengan cara sembrono).
Sudah
saatnya umat diberikan pengertian hal yang paling mendasar, seperti bagaimana
etika mengunjungi pura, dan siapa yang dipuja di pura itu. Jika perlu siapkan
buku sejarah pura itu yang bisa dijual. Pura besar di Bali termasuk Pura Ulun
Danu semuanya punya sejarah, dan ini harus diketahui umat. Kalau tidak, akan
muncul generasi mula keto jilid dua: generasi yang tak bisa menjelaskan apa-apa
mengenai ritual dan agamanya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar