INFO

Senin, 14 Desember 2015

MENGUNJUNGI PURA




Bersembahyang bisa di mana saja. Di kamar bisa, di ruang tamu dengan menggelar tikar, juga bisa. Di ruang kelas pun bisa, terutama buat pelajar. Bersembahyang di kamar kerja, bagi pegawai negeri dan karyawan swasta, juga sudah biasa dilakukan di kota-kota besar. Kalau di luar ada suara hiruk pikuk yang mengganggu konsentrasi, saya biasanya memutar kaset tabuh gong atau kidung yadnya. Tujuannya adalah membawa pikiran pada satu fokus yang paling memungkinkan untuk mencapai suasana religius.
Kalau bersembahyang bisa di mana saja, asal jangan di perempatan jalan yang lagi ramai lalu lintasnya, untuk apa mengunjungi pura? Kenapa umat berduyun-duyun pergi ke pura tri kahyangan pada saat hari raya Galungan yang lalu? Kenapa Pura Luhur Batukaru penuh sesak pada saat Manis Galungan yang lalu? Dan apa pula penyebabnya umat berbondong-bondong datang ke Kintamani, bukan untuk melihat Danau Batur, tetapi bersembahyang ke Pura Ulun Danu pada Purnama Kedasa, Jumat kemarin? Suasana ramai dan meriah itu akan terulang kembali pada minggu depan, Senin Kliwon di Pura Dasar Gelgel dan Sabtu Kliwon di Pura Sakenan.
Jelas ada daya tariknya kenapa pura dikunjungi. Yang pertama-tama dalam pikiran masyarakat tradisional adalah pura itu "tempat tinggal" Sesuhunan, Dewa, Bethara, Hyang Widhi. Mereka tak perlu lagi memerinci apa beda Dewa, Bethara, dan Hyang Widhi itu. Kebanyakan umat hanya tahu ke pura untuk bersembahyang, tak menghiraukan dengan teliti apakah persembahyangan itu di depan meru, bale gedong, atau padmasana. "Sembahyang untuk memuja Tuhan," kata keponakan saya yang baru kelas dua SD. Bagi dia sama saja, bersembahyang di merajan, di Pura Puseh, di Pura Mekori, di Pura Ulun Danu Batur, semuanya memuja kepada Tuhan.
Baru-baru ini anak saya bersama teman-temannya melakukan tirtayatra ke berbagai pura, sebagai rasa syukurnya karena baru saja lulus ujian di Fakultas Teknik Universitas Udayana. Melihat pura yang dikunjungi dan alasannya, saya memastikan pemahaman dia tentang pura dan siapa yang "diam" (berstana) di sana, lebih bagus dari keponakan saya yang kelas dua SD itu. Saya kemudian menyarankan, bagaimana kalau mengunjungi pura (tirtayatra) itu dengan cara-cara yang dikehendaki oleh para leluhur kita, yakni pikiran kita sudah dibawa ke alam keheningan sebelum sampai di pura. Anak saya bertanya, apa maksudnya?
Para leluhur kita mendirikan pura atau meninggalkan warisan tempat suci yang kemudian oleh pengikutnya dibangun pura, lebih banyak di tempat-tempat di mana orang harus melakukan "perjalanan penuh rintangan" sebelum sampai ke pura itu. Pura Ulun Danu Batur, sebagaimana namanya, berada di pinggir danau, yang dahulu kala harus dicapai dengan berjalan kaki di terjal-terjal. Pura Lempuyang dibangun di puncak gunung, di mana orang harus datang ke sana melewati jalan yang kiri kanannya tebing curam. Pura Sakenan berada di tengah pulau, dan umat yang datang harus naik perahu atau berjalan kaki dengan memperhitungkan naik turunnya air laut. Begitu pula Pura Tanah Lot berada di karang yang dipisahkan dengan air laut yang kadangkala bisa pasang. Apa yang dimaui para leluhur kita di masa lalu itu? Kenapa tidak membangun pura di tempat pemukiman biasa saja, seperti Mpu Kuturan menganjurkan membuat pura tri kahyangan dan "pura modern" seperti Pura Jagatnatha?
Jawabnya adalah para leluhur itu ingin umat yang datang menyadari adanya "rintangan" dalam perjalanan itu. Dengan adanya "rintangan" itu, umat sudah terkonsentrasi untuk mendekatkan dirinya kepada Hyang Widhi atau leluhur kita yang sudah menyatu dengan Hyang Widhi, yang akan kita sembah di sana. "Rintangan" itu tak lain adalah cara tak langsung untuk melakukan japa dan juga samadhi, sehingga begitu sampai di pura, pikiran otomatis sudah terfokus dan persembahyangan langsung bisa dimulai
SEKARANG "rintangan" itu sudah dihilangkan oleh manusia-manusia modern. Pulau Serangan di mana Pura Sakenan berada sudah menyatu dengan Bali. Orang datang naik mobil dan motor, menderu-deru sampai depan pura. Lalu bertengkar dengan tukang parkir, atau mengumpat karena mobilnya keserempet, atau ngedumel karena parkirnya susah, dan langsung masuk pura. Pikiran apakah yang dibawanya ketika berada di jeroan pura, dan langsung dituntun bersembahyang? Pikiran yang masih penuh marah, pikiran yang masih ngedumel, setidak-tidaknya jauh dari rasa hening. Padahal dulu, ketika saya sekeluarga pergi ke Pura Sakenan dan masih naik jukung, semuanya seperti terpaku hening dan berdoa agar selamat sampai di tujuan.
Beberapa tahun lalu, saya punya kisah yang bisa dikenang ketika sekeluarga ke Pura Dasar Gelgel pas di hari Pemacekan Agung. Bayangkan betapa ramainya. Anak saya kecil, berdesak-desakan. Ada yang mendorong dari belakang, istri saya yang melindungi anak saya, kena sikut mukanya. Ia menegor lelaki yang menyikutnya. Lelaki itu tersinggung dan marah, lalu istri saya ikut marah. Apa yang saya lakukan? Saya menarik tangan istri saya dan anak saya ke luar dari kerumunan, lalu duduk di bale gong. Anak saya bertanya, kenapa mengaso? Saya jawab, apa gunanya bersembahyang ketika pikiran masih dipenuhi rasa marah dan dendam. Kami istirahat sejenak, mendengarkan bunyi gamelan, setelah pikiran tenang baru masuk ke jeroan.
Sekarang ini pengaturan masuk di Pura Dasar Gelgel di hari Pemacekan Agung sudah berlapis tiga dan mulai tertib. Tetapi masih saja ada dorong-mendorong, dan ada maki-makian di antara pengunjung. Suasana seperti ini hampir terjadi di setiap pura kalau ada pujawali besar. Termasuk Pura Besakih. Penyebabnya adalah kawasan suci pura sudah makin sempit. Dan manusia-manusia modern sudah mempersempitnya lagi dengan memberikan akses masuk bagi kendaraan, pedagang, dan sebagainya ke lokasi paling dekat pura. Akibatnya, umat ke pura selalu dalam posisi grasa-grusu (tergesa-gesa dengan cara sembrono).
Sudah saatnya umat diberikan pengertian hal yang paling mendasar, seperti bagaimana etika mengunjungi pura, dan siapa yang dipuja di pura itu. Jika perlu siapkan buku sejarah pura itu yang bisa dijual. Pura besar di Bali termasuk Pura Ulun Danu semuanya punya sejarah, dan ini harus diketahui umat. Kalau tidak, akan muncul generasi mula keto jilid dua: generasi yang tak bisa menjelaskan apa-apa mengenai ritual dan agamanya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar