Mengamalkan
ajaran Veda menurut berbagai petunjuk sastra suci Hindu haruslah melalui proses
tradisi.
Dalam
Sarasamuscaya dinyatakan dengan istilah Vedaabyasa dan acara. Vedaabyasa
artinya ajaran suci Veda itu harus diterapkan sampai menjadi kebiasaan hidup
sehari-hari.
Acara
berasal dari kata ''car'' artinya bergerak. Acara artinya
langgeng, ajeg atau juga kebiasaan. Dengan demikian acara artinya upaya untuk
melanggengkan ajaran cusi Veda tersebut dalam perilaku sehari-hari, baik dalam
perilaku individu maupun dalam perilaku sosial. Karena itu, dalam Sarasamuscaya
dinyatakan: Acara
ngaran prawrtining kawarah linging Sang Hyang Aji. Artinya: Acara
adalah pengamalan ajaran kitab suci Veda.
Untuk
mencapai wujud tradisi itu maka Veda Sruti sabda Tuhan itu melalui suatu proses
bertahap. Manawa Dharmasastra II/6 menyatakan bahwa proses penerapan Veda itu
dari Veda Sruti dijabarkan lebih luas ke dalam kitab-kitab Smrti atau
Dharmasastra. Dari Dharmasastra ini dijabarkan ke dalam kitab-kitab sila
seperti kitab-kitab itihasa dan purana. Dalam kitab-kita itihasa dan purana
itulah kita akan menjumpai berbagai sila atau tingkah laku. Ada sila yang patut
dijadikan teladan dan ada juga sila yang tidak patut diteladani.
Segala
jenis sila yang susila dan yang dursila dipentaskan dalam kitab itihasa dan
purana. Selanjutnya silakan manusia mau memilih yang mana. Kalau memilih sila
yang susila maka sorga pahalanya. Sebaliknya yang memilih sila yang dursila
neraka sebagai pahalanya. Dari sila inilah ajaran suci Veda (agama Hindu) terus
dilanjutkan ke dalam bentuk tradisi yang disebut acara. Acara selalu menekankan
agar umat berusaha memilih sila yang susila dan menghindari sila yang dursila.
Tujuan
mewujudkan ajaran agama Hindu ke dalam acara atau tradisi Hindu itu adalah
untuk mencapai Atmanastusti. Istilah ini berasal dari kata ''atma'' dan
''tusta'' artinya kepuasan atman atau kepuasan rohani. Artinya tradisi agama
Hindu itu bertujuan memberikan kepuasan rohani kepada umatnya. Jadinya acara
itulah sesungguhnya tradisi atau adat dari agama Hindu untuk memberi kepuasan
rohani kepada pemeluk Hindu. Yang melakukan proses itu dari Veda Sruti sabda
Tuhan terus menjadi dharmasastra, sila dan acara adalah para resi dan pandita
yang memang ahli pada ajaran Veda. Sedangkan yang mengamalkan adalah umat yang
meyakini Veda itu sebagai sumber ajaran agama Hindu.
Bagaimana
mengukur apakah tradisi itu sudah sesuai dengan konsep Manawa Dharmasastra
tersebut atau tidak? Ukurannya adalah kepuasan rohani itu. Kalau proses
pentradisian agama Hindu itu justru malahan memunculkan makin bergejolaknya
hawa nafsu umat itu berarti bukan kesalahan ajaran agama Hindunya, tetapi yang
salah adalah yang mengamalkan tradisi tersebut. Karena sangat jelas puncak
pertradisian Veda Sruti itu bukan Visayatusti atau kepuasan hawa nafsu, tetapi
Atmanastusti. Munculnya beberapa tradisi Hindu yang justru mengobarkan wisaya
tusti atau semakin bergejolaknya hawa nafsu umat bukan sebagai tujuan tetapi
sebagai suatu proses.
Kurang
intesifnya fungsi kontrol pada proses tradisi beragama Hindu itu sebagai salah
satu, sebab timbulnya perjalanan tradisi beragama Hindu itu menjadi semakin
jauh dari konsep awalnya. Di samping itu, kurang luas dan dalamnya pemahaman
sementara pemuka agama Hindu akan sosok ajaran Hindu tersebut. Karena dalam
kurun waktu yang cukup lama pemimpin Hindu yang menjadi penuntun umat beragama
Hindu ditentukan melalui keturunan.
Seharusnya
mereka yang didudukkan sebagai pemimpin yang menuntut kehidupan beragama adalah
mereka yang benar-benar dibuktikan sudah sangat paham akan ajaran Hindu yang
seutuhnya. Pelaksanaan beragama Hindu
yang menyimpang dari inti ajarannya kalau sudah telanjur mentradisi tidak mudah
untuk meluruskannya kembali. Apalagi
tradisi itu memberikan keuntungan sosial dan material kepada sementara pihak,
tentunya lebih sulit untuk mengembalikannya pada ajaran yang benar.
Di
samping itu, adalah kekaburan batin pada zaman Kali ini.
Umumnya manusia zaman Kali sangat sulit membedakan mana kepuasan rohani dan mana kepuasan akibat gejolak hawa nafsu. Apalagi di dunia ini tidak ada sesuatu yang mutlak. Yang mahamutlak hanyalah Brahman. Beberapa persoalan itulah yang menjadi penghalang untuk melakukan pembenahan pada tradisi Hindu agar kembali menjadi sumber pemberi kepuasan atman kepada umat penganut Hindu. Tetapi dengan keyakinan yang kuat, tekun dan sabar bagaikan surya yang terus konsisten menguapkan air untuk menjadi mendung untuk menurunkan hujan.
Umumnya manusia zaman Kali sangat sulit membedakan mana kepuasan rohani dan mana kepuasan akibat gejolak hawa nafsu. Apalagi di dunia ini tidak ada sesuatu yang mutlak. Yang mahamutlak hanyalah Brahman. Beberapa persoalan itulah yang menjadi penghalang untuk melakukan pembenahan pada tradisi Hindu agar kembali menjadi sumber pemberi kepuasan atman kepada umat penganut Hindu. Tetapi dengan keyakinan yang kuat, tekun dan sabar bagaikan surya yang terus konsisten menguapkan air untuk menjadi mendung untuk menurunkan hujan.
Surya
brata itu adalah saneh-saneh denira mengisep welana.
Artinya,
dengan sabar dan tekun menguapkan air menjadi mendung. Mendung itulah yang akan
memberi kesuburan pada bumi. Demikianlah dalam membenahi tradisi beragama Hindu
sangat dibutuhkan ketekunan, kesungguhan dan kesadaran agar mampu terus-menerus
memberikan kepuasan rohani pada umatnya.
Marilah
kita benahi tradisi beragama Hindu yang masih ada justru sebagai pembangkit
hawa nafsu seperti nafsu untuk bermusuhan, arogansi kelompok, mabuk-mabukan,
berjudi, penyiksaan hewan, nafsu untuk membeda-bedakan harkat dan martabat
dengan sesama, nafsu ingin menguasai dan seterusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar