Daatavyam
iti yad daanam
diyate ‘nupakaarine.
desa kala ca paatre ca.
tad daanam saatvikam smrtam.
diyate ‘nupakaarine.
desa kala ca paatre ca.
tad daanam saatvikam smrtam.
(Bhagavad Gita XVII.20)
Maksudnya:
Dana punia yang diberikan dengan tulus ikhlas dengan tidak mengharapkan
hasilnya, diyakini sebagai kewajiban suci dan diberikan sesuai dengan aturan
setempat (desa), pada waktu yang tepat (kala) dan diberikan kepada orang yang
tepat (patra). Pemberian yang demikian itu disebut Satvika Daana.
Penggunaan
istilah desa kala patra di kalangan umat Hindu umumnya dan masyarakat Bali
khususnya sudah sangat populer. Bahkan Pesta Kesenian Bali (PKB) tahun ini
menggunakan tema ''Desa Kala Patra: Adaptasi diri dalam multi kultur.''
Pemilihan tema ini mungkin sebelumnya kurang didasari dengan pengertian yang
benar tentang pengertian desa kala patra menurut pustaka suci. Pengertian desa
kala patra yang dipahami pada umumnya tidak seperti pengertiannya dalam pustaka
suci seperti Bhagavad Gita dan Sarasamuscaya. Umumnya Desa Kala Patra itu
dipahami sebagai pedoman menerapkan Agama Hindu dan budaya Bali yang dijiwai
Agama Hindu. Desa diartikan tempat, kala waktu dan patra keadaan. Pengertian
Desa Kala Patra menurut Sloka Bhagavad Gita XVII.20 di atas sangat berbeda
dengan pengertian umum. Dalam Bhagavad Gita XVII.20 dinyatakan bahwa Desa Kala
Paatra sebagai pedoman untuk berdaana punia. Daana Punia yang benar dan baik
itu disebut Satvikadaana. Dana Punia yang benar dan baik itu adalah harus
sesuai dengan petunjuk rohani yang berlaku di tempat tersebut. Petunjuk rohani
yang berlaku setempat itulah disebut desa. Sedangkan kala artinya daana punia
yang benar itu dilakukan pada waktu Satvika Kala. Waktu Satvika itu saat masih
pagi. Sedangkan Paatra artinya daana punia itu harus diberikan pada orang yang
tepat dan baik. Kalau diberikan pada orang yang tidak baik dan tidak tepat
disebut Tamasika Dana. Dalam Bhagavad Gita XVII.22 orang yang tidak tepat
diberikan daana punia itu disebut Apaatra.
Orang
yang tepat diberikan daana punia disebut Paatra. Dalam Sarasamuscaya 271
dinyatakan ''Paatra ngarania sang yogia wehana daana'' yang artinya Paatra
namanya orang yang sepatutnya diberikan daana punia. Dalam Sarasamuscya sloka
181 juga sudah dinyatakan dengan istilah supaatra yang juga artinya orang yang
baik dan seyogianya diberikan daana punia. Dalam kamus Sansekerta kata Paatra
itu banyak artinya. Tetapi dalam kaitannya dengan Desa Kala Paatra dalam
Bhagavad Gita dan Sarasamuscaya sudah sangat jelas artinya yaitu orang yang
seyogianya diberikan daana punia. Sedangkan untuk mensukseskan pengamalan agama
atau dharma sudah sangat jelas juga dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra
VII.10.
Ada
lima dasar pertimbangan agar pengamalan agama atau dharma sukses. Dalam sloka
Manawa Dharmasastra VII.10 disebut Dharmasidhiartha artinya suksesnya tujuan
dharma atau agama. Ada lima dasar pertimbangan yang dinyatakan dalam sloka
tersebut yaitu Iksha, Sakti, Desa, Kala dan Tattwa. Iksha artinya pandangan
masyarakat, Sakti kemampuan masyarakat, Desa aturan rohani yang berlaku
setempat, Kala artinya waktu. Tattwa artinya kebenaran Weda. Maksudnya Tattwa
itulah diterapkan sesuai dengan Iksha, Sakti, Desa dan Kala. Inilah yang lebih
tepat dimaknai sebagai dasar adaptasi diri dalam multi kultur. Hal ini
menyebabkan bentuk luar tradisi beragama Hindu berbeda-beda antara daerah satu
dengan daerah lainya. Tattwa itu yang mutlak, penerapannya yang dapat
disesuikan dengan Iksha, Sakti, Desa dan Kala. Bagaikan makan nasi boleh pakai
piring, pakai daun, kertas minyak maupun pakai rantang. Yang penting isinya
sama yaitu nasi. Demikianlah Tattwa intisari Weda boleh dikemas dengan tradisi
India, tradisi Kalimantan, tradisi Jawa, tradisi Bali dan sebagainya. Yang
penting isi Tattwa inti Weda. Karena itu istilah Desa Kala Paatra itu
dikembalikan hanya sebagai dasar melakukan Satvika Daana. Kalau adaptasi diri
dalam multi kultur itu tanpa dasar Tattwa tentunya berbahaya. Tattwa itu adalah
sumber jati diri. Kalau Patra diartikan keadaan, Desa tempat dan Kala waktu
dijadikan dasar melakukan adaptasi diri dalam multikultur bisa kebudayaan kita
terombang-ambing terus mengikuti keadaan zaman tempat dan waktu yang terus berubah.
Idealnya kitalah seyogianya merencanakan perubahan itu agar jati diri (Tattwa)
tetap berlanjut sepanjang zaman.
Dalam
mengamalkan kebenaran atau Tattwa bentuknyalah yang disesuaikan dengan Iksa,
Sakti, Desa dan Kala. Tattwa itu adalah kebenaran yang paling hakiki yang harus
tetap ajeg tidak boleh berubah sepanjang zaman dan dimana pun. Seperti makanan
unsur intinya harus tetap ada seperti karbohidrat, lemak, vitamin, protein,
asam amino dll. Bentuk dan cara penyajianya boleh berubah-ubah, tetapi substansi
makanan itu tetap kekal. Bentuk itu tidak boleh merubah fungsi. Seperti zat
pewarna dalam makanan, jangan mengubah makanan itu menjadi racun. Manusia dari
suku dan bangsa mana pun dia membutuhkan unsur-unsur itu seperti karbohidrat,
protein, vitamin, asam amino. Demikian juga dalam hal kebudayaan Bali jangan
menggunakan dasar Desa Kala Patra dalam arti tempat, waktu dan keadaan sebagai
dasar membangun adaptasi diri dalam multikultur. Sebaiknya kembali pada
pengertian yang benar menurut ketentuan kitab suci.
Kalau
dipakai dasar pertimbangan Iksa, Sakti, Desa, Kala dan Tattwa sebagai mana
dinyatakan dalam Manawa Dharma Sastra VII.10 adaptasi budaya dalam multikultur
itu kita dapat mengikuti perubahan dengan tetap menguatkan jati diri kita tidak
kehilangan Tattwa. Pada kenyataannya aspek Tattwa inilah yang sering
ditinggalkan secara tidak sengaja oleh sementara pihak karena kurang cerdasnya
kita menghadapi perubahan yang sudah pasti itu. Berbagai bentuk budaya
spiritual Hindu di Bali dalam penampilannya ada sementara yang dieksistensikan
jauh meninggalkan Tattwanya. Padahal dalam teks Lontar petunjuknya sudah amat
jelas tersurat jelas apa yang semestinya dilakukan. Karena itu perlu
ditumbuhkembangkan budaya baca di kalangan umat pendukung kebudayaan Hindu di
Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar