Diskusi Bersama Ida Pedanda
Saya belum mengerti mengenai “Mantram sesontengan” bagi para walaka, dan ada beberapa pertanyaan lagi sebagai berikut:
1.
Apakah mantram
sesontengan itu
2.
Ketika
bersembahyang ada yang tangannya menjepit bunga, ada yang menjepit dupa; yang
manakah yang benar dan apa filsafatnya.
3.
Sikap tangan
ketika bersembahyang, ada yang tinggi melewati kepala, ada yang di dahi di
tengah-tengah kening; manakah yang benar.
4.
Pada saat manakah
kita ngayab dengan saab. Jika tidak ada saab apakah boleh dengan kembang yang
dijepit di tangan. Apa pula ucapan mantram ketika ngayab dan apa maknanya.
5.
Ketika sembahyang
sehari-hari, setelah Puja Trisandya saya melanjutkan dengan satu kali puja
saja, yaitu ucapan terima kasih. Bolehkah demikian?
6.
Apakah mantram
untuk mohon tirta? (maksudnya dari air biasa menjadi tirta)
Terima kasih atas jawaban yang diberikan. Bila saya ingin
mendalami ajaran-ajaran Agama kita, bolehkah saya datang ke Geria Ratu Pandita
dan kapankah waktunya?ANSWER:
1.
Sesontengan adalah ucapan
penganteb banten dengan kata-kata biasa sehari-hari yang dilakukan oleh para
walaka yang belum mempelajari puja ataupun mantra.
Tegasnya
sesontengan bukan mantra. Mantra adalah Weda, yaitu wahyu Hyang Widhi yang
tidak dapat diubah. Menafsirkan Mantra harus dilakukan oleh orang-orang suci
yang ahli di bidang itu agar tidak menyesatkan masyarakat.
Untuk
menghindari salah pemahaman, mantra harus diucapkan dalam bahasa aslinya, yaitu
Sanskerta, dengan irama tertentu. Mantra utama yang populer di masyarakat
adalah Puja Trisandya bait pertama yang dikenal sebagai Mantram Gayatri.
Mantra
boleh diucapkan oleh siapa saja asalkan cara mengucapkannya benar, untuk tujuan
suci, dalam situasi sakral, dan keluar dari lubuk hati kesucian. Mengucapkan
mantra juga dapat disebut sebagai Memantra atau Maweda.
Para
Pandita/ Pedanda (atau umumnya disebut Wiku) tidak dapat dikatakan memantra
atau maweda karena Weda tidak diucapkan secara utuh baik pada waktu Nyurya
Sewana maupun ketika muput karya.
Apa
yang diucapkan sudah bercampur antara mantra dengan doa/ rapal dalam bahasa
Kawi. Oleh karena itu beliau disebut MAPUJA atau MAMEOS.
Selain
itu perlu diketahui bahwa Trisandya bukanlah mantram, tetapi Puja karena tidak
seluruh baitnya Weda (Catur Weda).
Mudah-mudahan
dengan penjelasan ini anda dapat membedakan antara: SONTENG, PUJA, DAN MANTRA.
2.
Sarana untuk sembahyang adalah:
dupa/ asep sebagai simbol Brahma, air sebagai simbol Wisnu, dan bunga sebagai
simbol Siwa. Ketiganya harus ada.
Air
digunakan untuk membasuh tangan, berkumur, dan membersihkan muka sebelum
sembahyang, dupa atau asep diletakkan di hadapan, dan bunga dijepit di jari
tengah di kedua telapak tangan.
3.
Sikap tangan yang benar adalah
mencakupkan kedua telapak tangan dengan jari-jari rapat dan kedua ibu jari ada
di “tengahing lelata”, yaitu diantara kedua alis, karena di tempat itu disebut
trinetra, yaitu “mata ketiga Siwa”.
Siwa
yang mempunyai trinetra dipuja oleh penganut Hindu sekta Siwa Sidanta (Hindu
yang ada di Bali/ Indonesia kini).
4.
“NGAYAB” boleh dengan saab atau dengan bunga
yang dijepitkan di jari tangan kanan. Maknanya adalah ngaturang persembahan
kepada Hyang Widhi/ Bethara, Dewa, Bhuta, Pitra, dan Lina.
Untuk
manusia disebut “NATAB”. Puja yang diucapkan ketika ngayab tergantung dari
jenis ayaban (banten) yang dihaturkan.
5.
Sebaiknya sembahyanglah dengan
lengkap, yaitu Puja Trisandya dan Kramaning sembah.
6.
Ada dua kelompok besar puja untuk
tirta, yaitu untuk tirta dasar dan untuk tirta wangsuh pada.
Yang
dimaksud dengan tirta dasar adalah tirta yang dibuat oleh Pandita dan Jero
Mangku berdasar tata cara “NGARGA TIRTA”. Tirta ini digunakan untuk keperluan:
pelukatan. pebersihan, caru, beakala, dan lain-lain.
Tirta
wangsuh pada adalah tirta yang dimohonkan untuk berkat bagi manusia dari Hyang
Widhi, Dewa, dan Bethara. “Wangsuh” artinya air cucian; “pada” artinya kaki.
Tirta
arti umumnya adalah air yang sudah disucikan dan diberkati oleh kekuatan Hyang
Widhi yang dipuja menurut tata cara tertentu, tirta mana diyakini membawa
perasaan damai, aman, tentram, terlindungi, dan kesucian.
Cara
membuat tirta agak rumit dan perlu praktik langsung, jadi tidak dapat
dijelaskan secara tertulis di ruangan ini. Bila anda berminat, tidak perlu
ragu-ragu, silahkan datang ke Geria setiap saat.
Pandita
siap melayani setiap orang kapan saja untuk ber-dharma wacana dan ber-dharma
tula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar