Bentuk
pelinggih Meru yang ada di Bali terutama di Pura Padharman pada awalnya
berbentuk candi. Seperti meru di Pura Padharman Ida Dalem Klungkung di Besakih,
semuanya berbentuk Candi Prasada dibuat dari batu bata. Saat Gunung Agung
meletus tahun 1963, semua pelinggih Candi Prasada itu hancur. Dalam
perbaikannya hanya Candi Prasada yang bertingkat sebelas kembali dibangun dalam
wujud Candi Prasada. Sedangkan yang lainnya dibangun kembali dalam wujud
pelinggih Meru dari yang tumpang sembilan sampai dengan yang bertumpang tiga.
Apa sesungguhnya makna meru bagi umat dalam mengarungi tahapan kehidupan di
bumi ini?
DALAM
Lontar Andha Bhuwana ada dinyatakan bahwa meru itu sebagai lambang alam semesta
(Meru ngaran pratiwimba Andha Bhuwana). Dalam lontar yang sama juga dinyatakan
sbb: Pawangunan pelinggih makadi meru muang candi, juga pratiwimba saking
pengelukunan wijaksara dasaksara mewastu manunggal dadi Om. Artinya: Bangunan
suci (pelinggih) terutama meru dan candi juga simbol dari pemutaran huruf suci
wijaksara dasaksara menunggal menjadi Om.
Dari penjelasan Lontar Andha Bhuwana ini yang menyatakan tumpang atap meru di samping melambangkan lapisan alam juga melambangkan pemutaran huruf suci yang disebut wijaksara sampai dasaksara. Huruf suci yang disebut aksara itu dinyatakan sebagai ''ruping bhuwana''. Pemutaran wijaksara sampai menjadi dasaksara dan kembali menjadi wijaksara Om itu melukiskan bahwa di setiap lapisan alam ini ada aksara sucinya. Misalnya di Tri Loka ada Tri Aksara Ang Ung Mang sebagai uripnya. Di Panca Loka ada Panca Aksara sebagai uripnya. Demikian seterusnya, di setiap lapisan alam itu ada aksara simbol urip yang menjadi sumber hidup dari setiap lapisan alam tersebut.
Apa yang dinyatakan dalam Lontar Andha Bhuwana ini sebagai penegasan dari pernyataan Mantra Veda yang menyatakan bahwa Tuhan itu ada di mana-mana. Lebih lanjut lontar Andha Bhuwana menyatakan sbb: Sowang panta ika maka sthananira mwah angalih aran. Catur Dasa panta ika, sapta Loka kaluhur mwang sapta Patala ming sor. Artinya, setiap lapisan itu sebagai sthana beliau (Hyang Widhi) yang masing-masing berganti nama.
Dari penjelasan Lontar Andha Bhuwana ini yang menyatakan tumpang atap meru di samping melambangkan lapisan alam juga melambangkan pemutaran huruf suci yang disebut wijaksara sampai dasaksara. Huruf suci yang disebut aksara itu dinyatakan sebagai ''ruping bhuwana''. Pemutaran wijaksara sampai menjadi dasaksara dan kembali menjadi wijaksara Om itu melukiskan bahwa di setiap lapisan alam ini ada aksara sucinya. Misalnya di Tri Loka ada Tri Aksara Ang Ung Mang sebagai uripnya. Di Panca Loka ada Panca Aksara sebagai uripnya. Demikian seterusnya, di setiap lapisan alam itu ada aksara simbol urip yang menjadi sumber hidup dari setiap lapisan alam tersebut.
Apa yang dinyatakan dalam Lontar Andha Bhuwana ini sebagai penegasan dari pernyataan Mantra Veda yang menyatakan bahwa Tuhan itu ada di mana-mana. Lebih lanjut lontar Andha Bhuwana menyatakan sbb: Sowang panta ika maka sthananira mwah angalih aran. Catur Dasa panta ika, sapta Loka kaluhur mwang sapta Patala ming sor. Artinya, setiap lapisan itu sebagai sthana beliau (Hyang Widhi) yang masing-masing berganti nama.
Empat
belas lapisan sthana beliau (Hyang Widhi) yang masing-masing berganti nama.
Empat belas lapisan itu Sapta Loka ke atas dan Sapta Patala ke bawah. Apa makna
dari pelukisan semua lapisan alam ini sebagai sthana Hyang Widhi Tuhan Yang
Mahakuasa dengan sebutan yang berbeda-beda pada setiap lapisan.
Tuhan
yang selalu berada di setiap lapisan alam ini hendaknya dimaknai sebagai suatu
peringatan agar manusia selalu berlaku baik dan benar di setiap lapisan alam
ini. Asih, Punia, dan Bhakti wajib dilakukan oleh umat manusia di setiap
lapisan alam. Asih dan Punia kepada alam dan semua makhluk hidup termasuk
manusia di setiap lapisan alam ini. Melakukan Asih dan Punia kepada alam dan
sesama umat manusia itu sebagai salah satu wujud bakti pada Tuhan. Tidaklah
tepat di suatu lapisan alam tertentu manusia boleh saja berbuat semena-mena
demi kenikmatan hidup di lapisan yang lain. Seperti di wilayah pemukimannya,
manusia menciptakan berbagai fasilitas hidup yang memberi kenikmatan, tetapi di
lapisan lain menimbulkan kerusakan alam yang hebat.
Misalnya
manusia ingin memiliki mobil dengan berbagai merek dan jenisnya. Semuanya itu
agar mereka dapat dengan mudah ke mana maunya. Untuk memenuhi itu, berbagai
bagian bumi ini dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan akan bijih besi dan
minyak bumi. Sudah semakin banyak perut bumi dilubangi dalam-dalam dan luas
untuk mendapatkan berbagai mineral yang tak terbarukan yang dijadikan
bahan-bahan baku untuk membuat barang-barang industri demi memenuhi kebutuhan
umat manusia mendapatkan hidup yang nikmat.
Jika
sudah datang gilirannya, maka alam yang dirusak itu akan membawa manusia pada
hidup yang duka lebih dalam dari pada kenikmatan yang didapatkan. Demikian juga
untuk memiliki rumah yang mewah, indah dan memberikan kenikmatan yang serba wah
pada pemukimnya membutuhkan berbagai mineral yang tak terbarukan. Seperti besi,
ubin, pasir, semen dan juga kayu yang dapat menimbulkan kerusakan hutan.
Seandainya semakin banyak orang yang mau tinggal di rumah yang tidak terlalu
mewah dan serba wah itu, mungkin tidak banyak sumber-sumber alam yang dirusak.
Alam pun akan asri dan lestari, hidup tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia pun
akan seimbang, tidak saling terancam.
Meru
dengan tumpang-tumpang atapnya itu hendaknya dapat memberikan kita pemahaman
bahwa hidup di lapisan alam tertentu jangan sampai merusak keadaan hidup di
lapisan alam yang lain. Meskipun kita berbuat di Bhur Loka tetapi akibatnya
dapat menembus Bhuwah Loka bahkan Swah Loka. Kalau kita berbuat tidak baik dan
benar di Bhur Loka ini seperti merabas hutan, menggunakan sarana hidup yang
serba mesin tetapi tidak laik operasional juga bisa menimbulkan kerusakan di
angkasa. Mesin yang tidak laik jalan misalnya mesin yang menimbulkan gas buang
yang melebihi ambang batas dapat merusak langit bahkan menimbulkan gas rumah
kaca di udara. Hal ini yang akan menghalangi panas naik ke angkasa dan balik ke
bumi menimbulkan pemanasan global membuat suhu bumi meningkat. Udara yang
dihirup oleh manusia pun menjadi semakin kotor. Hidup manusia pun akan semakin
resah. Konon larutan logam berat yang melebihi ambang batas dalam darah
manusia, dapat menimbulkan gangguan mental pada manusia. Manusia bisa lebih
emosional dan meledak-ledak karena ada gangguan mental. Sedih dan gembira akan
diekspresikan secara ekstrim oleh manusia yang dalam darahnya mengandung
larutan logam berat melebihi ambang batas. Kalau di setiap lapisan bumi ini
kita mampu tegakan Rta dan Dharma sebagai dasar berbuat maka durian inilah yang
akan menuntun kita menuju alam tertinggi yaitu Satya Loka yang dilukiskan oleh
tumpang meru yang teratas yang juga disebut sebagai lambang Omkara.
Dunia
ini dengan semua lapisannya berdimensi ganda. Bisa membawa manusia menuju surga
dan bisa juga sebagai sarana mengantarkan menuju neraka. Kalau hukum alam dan
hukum manusia (Rta dan Dharma) ditegakkan di setiap lapisan bumi ini maka
manusia pun dapat mencapai Satya sebagai dasar menuju surga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar