Idaanim dharma pramaanaanyaa.
Wedo'khilo dharma mulam
Smrtisile ca tadvidam
Aacaaracaiva saadhuunaam.
Aatmanastustireva ca.
(Manawa Dharmasastra.II,6).
Artinya:
Seluruh
pustaka suci Weda (Sruti dan Smrti) sumber dari Dharma. Kemudian barulah Sila
(tingkah laku yang suci). Lalu kemudia muncul Acara (kebiasaan Weda) dan
kepuasan Atman.
SLOKA
Manawa Dharmasastra tersebut adalah sistem penerapan Dharma atau sistem pembumian
kebenaran Weda. Ia benar-benar nyata menjadi penuntun kehidupan umat Hindu.
Umat manusia yang mengamalkan ajaran Weda itu berada pada lingkup kekuasaan
ruang dan waktu. Adanya perubahan ruang dan waktu itu maka ia mengalami
perubahan secara terus-menerus dalam pentradisinya.
Tradisi
Hindu, acara itu harus terus-menerus dikembalikan pada sumbunya yaitu kitab
Sruti dan Smrtinya. Setiap perubahan kalau ada yang dirasakan menyimpang dari
sumbernya maka carilah sumbernya yang lebih tinggi. Apabila ia acara (tradisi
Weda), sumbernya adalah Sila. Sila itu sumbernya adalah Smrti. Sumber yang
tertinggi adalah Weda Sruti. Demikianlah menurut Sloka Manawa Dharmasastra yang
dikutip diatas.
Dinamika
pengamatan Weda, tentunya tidak akan menimbulkan permasalahan kalau dinamika
perubahan itu selalu bersumber pada dharma atau kebenaran Weda. Masalah akan
muncul kalau dinamika pengamalan dharma dari Weda itu sudah semakin jauh dari
sumbunya. Konflik pasti akan timbul kalau dinamika itu tidak berjalan diatas
relnya dharma. Kalau dinamika itu ada di luar rel dharma pasti akan ada yang
dirugikan atau disengsarakan.
Demikianlah
halnya umat Hindu di Indonesia. Pada zaman Majapahit, agama Hindu dianut di
seluruh Nusantara. Dalam proses perkembangan Hindu, ada kesalahan menerapkan
ajaran suci Weda, akhirnya umat Hindu merosot drastis dan tinggal di Bali. Di
Bali kehidupan beragama Hindu hanya dipelihara dengan adat-istiadat atau
tradisi yang pada umumnya tidak dipahami arti dan makna dengan baik.
Dengan
kemajuan zaman, banyak umat yang daya nalarnya meningkat dalam bidang Agama.
Dari mereka ada yang makin paham bahwa banyak adat-istiadat yang bertentangan
dengan sumbernya. Bagi umat Hindu yang peduli akan ajaran agamanya tentu
menginginkan agama Hindu yang mereka anut diluruskan dari
penyimpangan-penyimpangan tersebut. Mereka sering malu karena dicemooh oleh
umat lain. Misalnya umat Hindu kok membeda-bedakan harkat dan martabat manusia
dengan sistem Kastanya.
Pada
hal dalam sumber ajarannya di Sruti, Smrti maupun dalam kitab Sastranya tidak
ada konsep kasta itu. Yang ada adalah sistem Catur Varna yang sangat mulia.
Demikian juga sistem Kepanditaannya tidak ada diajarkan dalam ajaran Hindu
bahwa Pandita itu harus dari Wangsa tertentu saja. Tradisi Hindu yang
bertentangan dengan sumber ajarannya sampai saat ini dirasakan masih sangat
sulit mengembalikan pada sumber ajaran.
Oleh
karena itu, kritik konstruktif dari dalam diri umat Hindu itu harus terus
disalurkan. Jangan takut dikritik. Tidak ada kemajuan tanpa kritik. Kritik memang
penting, tetapi autokritik jauh lebih penting. Asalkan kritik itu dilakukan
dengan cara yang tidak membabi buta.
Sebelum
kritik disampaikan, perlu didahului tahapan proses, dengan pengamatan dan
analisis yang mendalam dan ilmiah. Hal ini untuk menggulirkan pembaruan dalam
kehidupan beragama Hindu. Proses pembaruan dalam kehidupan beragama Hindu
memang sudah digulirkan sejak lahirnya Piagam Campuan tahun 1961. Tetapi, dalam
praktiknya banyak hal yang sudah ditetapkan dalam Piagam Campuan tersebut jalannya
tersendat-sendat.
Memang
ada kelompok tertentu yang sudah kadung mendapatkan kenikmatan sosial dan
keuntungan material sangat sulit diajak melakukan perubahan kehidupan beragama
yang makin mengarah pada terlaksananya agama Hindu sesuai dengan ajaran Weda.
Mengembalikan berbagai tradisi yang menyimpang pada konsep Weda dan
mempertahankan tradisi yang masih relevan tentu menimbulkan pro dan kontra.
Hal
itu hendaknya dianggap sesuatu yang biasa dalam suatu proses sosial. Janganlah
konflik seperti itu dianggap sebagai perpecahan. Masyarakat itu selalu
berproses ada yang menuju asosiatif integratif dan ada juga yang mengarah
disosiatif menuju deferensiatif. Semua proses sosial itu memiliki aspek negatif
dan positif masing-masing. Ke mana pun arah proses sosial itu hendaknya menuju
pada penegakan sumbu agama Hindu yaitu kitab suci Weda dan Sastra-sastranya.
Atmanastuti bersumber dari tradisi Weda atau Acara. Acara bersumber dari Sila.
Sila bersumber dari Smrti, dan Smrti bersumber dari Sruti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar