Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
beraneka ragam budaya dan tradisi masyarakat . Negara kita merupakan bangsa
majemuk dengan penduduk sekitar 210 juta jiwa. Kebhinekaan memang merupakan kekayaan
dan sumber kekuatan bangsa, namun harus kita akui bahwa kebhinekaan juga
mengandung kerawanan jika kita tidak pandai menjaganya. Sepanjang perjalanan
sejarah bangsa Indonesia semenjak berabad-abad yang lalu, bangsa kita pernah
menjadi kelinci percobaan penjajah yang dengan mudahnya di adu domba. Dengan
beragamnya dimensi sosial yang ada dan tumbuh berkembang di masyarakat
menyebabkan semakin lebarnya jurang pemisah di antara segenap insan sosial.
Akankah hal ini terulang kembali? Tentunya tidak bukan! Sebagai mahluk sosial,
manusia tidak bisa melepaskan komunikasi dan hubungan pergaulan terhadap
sesama. Pada tatanan ini akan terjadi proses pembaruan yang tidak mungkin
dihindari. Dipertegas lagi bahwa Hyang Widhi yang Maha Pencipta tidak pernah
menciptakan sesuatu yang sama. Mahluk ciptaan-Nya berupa manusia diwarnai dengan
kemajemukan. Terlihat dari warna kulit, ras, suku, golongan, bangsa, bahasa,
dan agama. Seseorang yang beragama Hindu,
misalnya pasti akan bergaul dengan pemeluk agama yang lain. Proses ini
merupakan hal yang wajar dan alami. Interaksi plurastik terjadi dan dapat
dipastikan semua agama mengakuinya.
Dewasa ini kehidupan manusia
dihadapkan pada permasalahan menyangkut hak asasi manusia, etnis, dan agama..
Kondisi ini menyebabkan panilaian terhadap manusia cenderung manganggap sesama
manusia berbeda hanya karena perbedaan itu semua. Dalam hal ini kearifan umat
Hindu menyodorkan solusi mencari jalan keluar memecahkan masalah tersebut.
Agar
hipokrit (munafik sosial) kehidupan beragama tidak berlanjut, dituntut
kesadaran semua pihak untuk dapat saling bertoleransi satu sama lain.
Pendidikan merupakan faktor penting untuk menumbuhkan kesadaran itu. Mendidik
dengan mengandalkan kata-kata saja tentu kurang menarik, karena itu diperlukan
media pendidikan untuk menyampaikan pesan-pesan. Pesan dapat berupa nilai,
yaitu suatu acuan yang digunakan untuk berpikir dan bertindak. Salah satu
penerapannya ialah dengan memanfaatkan kearifan local dari falsafah Hindu yang
ada di Bali, yaitu saput poleng sebagai medianya.
Saput
poleng adalah selembar kain bercorak kotak-kotak dengan warna putih dan hitam
seperti papan catur. Menurut tradisi ada tiga jenis saput poleng, antara lain
meliputi saput poleng saput Rwa Bhineda, saput poleng Sudhamala, dan saput poleng
Tridatu. Saput poleng Rwa Bhineda berwarna putih dan hitam. Warna gelap (hitam)
dan terang (putih) merupakan suatu cerminan dari dharma dan adharma. Saput
poleng Sudhamala berwarna putih, hitam, dan abu. Abu sebagai peralihan dari
warna hitam dan putih yang mengantarai keduanya. Artinya menyelaraskan simfoni
dharma dan adharma. Saput poleng Tridatu berwarna putih, hitam, dan merah.
Merah merupakan simbol rajas keenergikan, hitam adalah tamas (kemalasan) dan
putih simbol satwam (kebijaksanaan, kebaikan).
Saput
poleng sebagai simbol masyarakat Hindu di Bali digunakan oleh para pecalang
(perangkat keamanan), patung penjaga pintu gerbang, dililitkan pada kul-kul
atau kentongan, dikenakan oleh balian atau pengobat tradisional, dihiaskan pada
tokoh-tokoh ithiasa (Merdah, Tualen, Hanoman, dan Bima), dikenakan oleh dalang
wayang kulit ketika melaksanakan pangruwatan atau penyucian, dililitkan pada
tempat suci yang diyakini berfungsi sebagai penjaga. Pada intinya saput poleng
digunakan sebagai simbol penjagaan.
Implementasi
falsafah ini dapat memberikan kita sebuah cerminan yang terimplikasi terhadap
kehidupan beragama. Warna putih yang secara umum merupakan suatu simbolik dari
satwam yang secara umum merupakan suatu simbolik dari kekuatan dharma yang
sudah sepatutnya memberikan cerminan kepada kita bahwa dalam hidup beragama
kita harus memegang teguh prinsif dharma yang senantiasa memberikan kedamaian.
Hal ini tercermin dari sikap toleransi untuk menghindari kemunafikan sosial
(hipokrit sosial) yang ujung-ujungnya mengakibatkan perpecahan diantara kita
semua. Dalam Rg. Veda X.191. 3-4 menyatakan bahwa pada hakekatnya semua manusia
adalah bersaudara. Vasudaiva Kutumbakam, semua mahluk adalah bersaudara.
Persaudaraan umat manusia ini disebabkan oleh satu asal dan kembalinya bagi
setiap mahluk dan alam semesta, sama-sama menikmati kehidupan di karibaan bumi
pertiwi tercinta, oleh karena itu Tuhan Yang Mahaesa, Sang Hyang Widhi
mengamanatkan kepada kita untuk hidup dalam suasana damai penuh kebahagiaan
dalam persaudaraan yang sejati.
Warna
hitam merupakan simbolik dari tamas (kemalasan) yang merupakan kekuatan adharma
yang senantiasa ada jika dharma ada dan ini merupakan suatu hukum ilahi yang
senantiasa berjalan terus. Kekuatan adharma tidak sepatutnya disalah-kaprahkan,
namun seharusnya kita mengontol diri kita agar tidak membuat suatu tindakan
yang dapat memprovokasi orang lain.
Disamping
itu pula, warna abu pada saput poleng memberikan suatu implemtnasi terhadap
suatu penyelarasan antara kekuatan dharma dan adharma. Jadi sikap seperti ini
merupakan suatu cerminan sikap toleransi kehidupan beragama yang memberikan
keselarasan dari sisi baik dan buruk.
Warna
merah merupakan simbol keenergikan (rajas) yang semestinya kita cerminkan
terhadap semangat untuk membina kerukunan umat beragama. Bukannya semangat yang
kita miliki dipergunakan untuk mengompori semua perbedaan yang akhirnya akan
membakar dan membawa kita ke abu keharmonisan. Setiap permasalahan yang muncul
bila semakin dikompor-kompori, maka akan semakin parah. Untuk itulah,
keenergikan tersebut jangan sampai disalahgunakan dalam suatu hal yang tidak
baik.
Seperti
yang termuat Atharvaveda, XII.1. 45 dinyatakan : “Beberapa pengucapan bahasa
yang berbeda-beda dan pemeluk agama yang berbeda-beda pula dan sesuai dengan keinginan.
Mereka tinggal bersama di bumi pertiwi yang penuh keseimbangan tanpa banyak
bergerak, seperti sapi yang selalu memberikan susunya kepada manusia. Demikian
juga ibu pertiwi selalu memberi kebahagiaan melimpah pada semua umat manusia”.
Terungkap juga dalam Weda Sruti : “Seseorang yang menganggap seluruh umat
manusia memiliki atma yang sama dan dapat malihat semua manusia sebagai
saudaranya, orang tersebut tidak terikat dalam ikatan dan bebas dari kesedihan”
(Yayurweda, 40.7). Kedua mantra tersebut dengan sangat gamblang menyatakan
bahwa manusia hidup di lingkungan majemuk dapat tinggal dalam keharmonisan.
Juga, memberikan kearifan pada umat dalam menyikapi persepsi manusia berbeda
karena warna kulit, ras, etnis, dan agama adalah sebuah keluarga besar. Artinya
tidak hanya satu agama yang diagungkan, dijayakan, tetapi semua agama dipandang
sebagai kebenaran. Semua berhak hidup di bumi pertiwi ini. Kemajemukan tersebut
seperti pelangi berwarna-warni ciptaan Tuhan.
Sangat
indah dan menyejukkan sehingga mampu menumbuhkan kedamaian hati umat manusia.
Kemajemukan tidak untuk dipertetangkan karena kemajemukan adalah keharmonisan
dan keindahan, bukan kekacuan atau kesemrawutan. Spritualitas kearifan ini
dalam diri manusia adalah sama. Di samping itu semua umat manusia berkeinginan
hidup berdampingan secara damai di muka bumi pertiwi yang kita cinta ini. Jika
spritualitas ini dapat dijalankan sebagai landasan berpikir dan pola tindakan,
maka manusia akan melupakan perbedaan yang ada dan sekaligus tidak mempertentangkan
perbedaan tersebut. Hal ini sangat relevan dan arif dalam kehidupan bangsa
Indonesia yang sangat kental warna kemajemukan yang diwarnai oleh beragamnya
kehidupan masyarakat.
Nilai-nilai
filosofis yang demikian tinggi dalam saput poleng dapat dijadikan cermin dalam
mempertahankan kerukunan kehidupan beragama. Hal tersebut perlu diterapkan agar
kita semua terhindar dari hipokrit sosial yang dapat memecah belah kita semua.
Keinginan (rajas) yang tak terbatas agar diimbangi sifat mengerem (tamas) serta
dikontrol dengan kebijaksanaan (satwam). Keseimbangan rajas dan tamas yang
didominasi satwam secara perlahan akan meningkatkan harkat kemanusiaan (Manawa)
dan sifat keraksasaan (danawa) menuju sifat kedewataan (madawa). Dan semoga
kita semua diberikan kedamaian… (*bddn.org)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar