Upacara dalam ajaran Hindu merupakan bagian
daripada yajna/ dibaca yadnya, bukan sebaliknya yadnya itu bagian dari upacara.
Yadnya mempunyai arti yang sangat luas sekali. Menurut etimologi kata yadnya
berasal dari kata yaj yang artinya memuja/memberi pengorbanan atau menjadikan
suci. Kata ini juga diartikan bertindak sebagai perantara. Dalam Rg Weda VIII,
40. 4. artinya pengorbanan atau persembahan ( Pudja, 1985 : 104). Selama ini
yadnya dipahami hanyalah sebatas piodalan/ menghaturkan Banten. Pandangan umat
yang awam, setiap mendengar kata yajña, dalam benaknya selalu terbayang bahwa
di tempat yajña itu terdapat berbagai jenis sajen, asap dupa mengepul, bau
bunga dan kemenyan yang wangi semerbak, ada pujastawa sulinggih atau pemangku,
ada suara kidung, tabuh gamelan yang meriah dan berbagai atraksi seni religius
lainnya. Bayangan itu tidak salah. Namun rupanya keliru, bila yajña itu selalu
diidentikkan dengan kegiatan upacara keagamaan. padahal Arti yadnya yang
sebenarnya adalah pengorbanan/persembahan secara tulus. Segala yang dikorbankan
atau dipersembahkan kepada Tuhan dengan penuh kesadaran, baik itu berupa
pikiran, kata-kata dan prilaku yang tulus demi
kesejahtraan alam semesta disebut dengan yadnya.
Inti dari yadnya adalah pesembahan dan
pengorbanan. Sedangkan upacara adalah sebuah wujud bhakti manusia kepada Tuhan
untuk mendekatkan diri kepadaNya. Sarana
upacara inilah disebut dengan upakara/Banten. Melalui sarana berupa
upakara/banten ini umat Hindu menyampaikan bhaktinya kepada Tuhan. Banten yang
dipersembahkan dimulai dari tingkatan yang terkecil sampai terbesar ( nista,
madya, utama) dalam bahasa Bali disebut alit, madya dan agung. Sebenarnya tidak
ada banten nista, sebab kata nista dalam bahasa Bali berkonotasi negatif, yang
ada adalah alit. Kata alit artinya banten yang sederhana namun tidak mengurangi
arti. Kemudian banten ini dipersembahkan ketika ada upacara/piodalan juga
hari-hari raya menurut agama Hindu. Hari raya tersebut jatuh sesuai dengan
wewaran, wuku dan sasih. Wewaran misalnya kajang keliwen, wuku misalnya
bhudawage kelawu dan sasih misalnya Purnama kapat, kelima, kedasa dan
sebagainya. Upacara Yadnya adalah merupakan langkah yang diyakini sebagai
ajaran bhakti dalam agama Hindu. Dalam
(Atharvaveda Weda XII.1.1) Yadnya adalah salah satu penyangga bumi. Satyam
brhad rtam ugra diksa tapo brahma yajnah prthivim dharayanti, sa no bhutasya
bhavyasya patni, urum lokam prithivim nah krnotu Artinya Kebenaran,
kejujuran yang agung, hukum-hukum alam yang tidak bisa diubah, pengabdian diri,
tapa (pengekangan diri), pengetahuan persembahan (yajna ) yang menopang bumi.
Bumi senantiasa melindungi kita. Semoga bumi menyediakan ruangan yang luas
untuk kita. (pudja,1985:31).
Demikian disebutkan dalam kitab Atharwa Weda.
Pemeliharaan kehidupan di dunia ini dapat berlangsung terus sepanjang Yadnya
terus menerus dapat dilakukan oleh umat manusia. Demikian pula Yadnya adalah
pusat terciptanya alam semesta atau Bhuwana Agung sebagai diuraikan dalam kitab
Yajur Weda. Disamping sebagai pusat terciptanya alam semesta Yadnya juga
merupakan sumber berlangsungnya perputaran kehidupan yang dalam kitab
Bhagawadgita disebut Cakra Yadnya. Kalau Cakra Yadnya ini tidak berputar maka
kehidupan ini akan mengalami kehancuran.
Dasar pelaksanaan upacara Yadnya adalah Tri
Rna. Weda mengajarkan Tuhan menciptakan alam semesta ini berdasarkan
Yadnya. Karena itu menurut ajaran Rna alam ini berhutang kepada Tuhan. Untuk
melepaskan diri dari keterikatan akan hutang itu, umat Hindu melakukan yadnya
salah satunya berupa upacara dengan memakai sarana upakara/banten. Dalam Lontar
Agastya Parwa yadnya ini dibagi menjadi lima sebagai berikut:
a. Dewa
Yajña, yaitu mempersembahkan minyak, biji-bijian kepada Dewa Siwa, Agni di
tempat pemujaan dewa.
b. Rsi Yajña,
yaitu menghormati pendeta dan membaca-baca kitab suci.
c. Pitra
Yajña, yaitu upacara kematian agar roh mencapai alam Siwa.
d. Butha Yajña, yaitu mensejahterakan tumbuh-tumbuhan dan menyelenggarakan
upacara tawur dan Panca Wali Krama.
e.
Manusa Yajña, yaitu memberi makanan kepada masyarakat.
Dewa Yadnya dilakukan sebagai rasa bhakti umat
kepada Tuhan dan melakukan Bhuta Yadnya untuk memelihara semua ciptaan Tuhan
ini. Rasa berhutang kepada leluhur (Pitra) diwujudkan dengan berbhakti kepada
leluhur dalam bentuk Pitra Yadnya dan memelihara keturunan, karena keturunan
tersebut pada hakekatnya adalah leluhurlah yang menjelma. Memelihara keturunan
dalam bentuk Manusa Yadnya pada hakekatnya juga melakukan Pitra Yadnya.
Membayar jasa-jasa para Rsi yang menciptakan ajaran-ajaran moral spiritual dan
ajaran-ajaran duniawi yang baik menuju kesejahteraan hidup jasmaniah disebut
dengan Rsi yadnya ( Putra, 2005 : 2). Yadnya dalam Bhagawadgita diuraikan bahwa
semua perbuatan yang berdasarkan dharma dan dilakukan dengan tulus ikhlas disebut
yadnya. Belajar dan mengajar didasari oleh keikhlasan serta penuh pengabdian
untuk memuja Tuhan, tergolong yajña. Memelihara alam lingkungan juga disebut
yajña. Mengendalikan hawa nafsu dari panca indrya adalah yajña. Demikian pula
membaca kitab suci Veda, sastra agama yang dilakukan dengan tekun dan ikhlas,
adalah yajña. Saling memelihara, mengasihi sesama makhluk hidup juga disebut
yajña. Menolong orang sakit mengentaskan kemiskinan, menghibur orang yang
sedang ditimpa kesusahan adalah yajña. Jadi jelaslah, yajña itu bukanlah
terbatas pada kegiatan upacara keagamaan saja. Upacara dan upakaranya (sesajen
dan alat-alat upacara) merupakan bagian dari yajña.
Di dalam Bhagavadgita III, 9 dan 12 diuraikan
bahwa setiap melakukan pekerjaan hendaklah dilakukan sebagai yajña dan untuk
yajña. Tuhan memelihara manusia dan segala ciptaanNya. Manusiapun memelihara
hubungannya dengan Tuhan dalam bentuk bhakti. Saling memelihara ini adalah
suatu kebaikan yang maha tinggi (Pendit, 1988 : 88)
Selanjutnya sloka 12 dan 13 menyebutkan, para
dewa akan memelihara manusia dengan memberikan kebahagiaan. Karena itu, manusia
yang mendapatkan kebabagiaan bila tidak membalas pemberian itu dengan yajña
pada hakekatnya pencuri. Dalam sloka selanjutnya, Sri Bhagawan Krishna
menyebutkan bahwa orang yang terlepas dari dosa adalah orang yang makan sisa
dari persembahan atau yajña (Pendit, 1988 : 90-91).Karena itu, sebelum
menikmati makanan, kita harus mempersembahkan makanan itu kepada Tuhan terlebih
dahulu. Makanan dipersembahkan itu menjadi prasadam yang oleh umat Hindu di
Bali disebut lungsuran.
Prasadam adalah Bahasa Sanskerta yang artinya
anugrah Tuhan. Jadi makanan yang dinikmati setiap hari adalah pemberian Tuhan.
Sedangkan kata lungsuran dalam bahasa Bali artinya hasil dari memohon kepada
Tuhan. Bahan makanan yang dimakan oleh manusia berasal dari isi alam ini.
Alampun merupakan ciptaan Tuhan. Karenanya manusiapun mendapatkan yajña dari
alam, dan oleh karenanya pula manusia harus beryajña kepada alam. Inilah yang
disebut dengan Cakra Yajña yaitu perputaran roda yajña yang sifatnya timbal
balik.
Dalam Mahabharata ada diceritakan tentang
yajña agung di Kurukshetra. Diceritakan, sehabis perang Bharatayudha, Para
Pandawa akan mengadakan upacara Aswameda Yajña dalam tingkatan yang utama.
Tentang akan dilangsungkannya upacara besar itu segera menjadi bahan
perbincangan hangat masyarakat Indraprasta maupun Astinapura. Demikianlah, para
patih dan pejabat tinggi kerajaan yang lain asyik memperbincangkan keagungan
upacara tersebut. Mereka amat bangga dan menyebutkan bahwa tidak akan ada
upacara yajña yang seagung Aswameda yajña. Sedang bangga-bangganya mereka
membahas yajña yang amat megah dan mewah itu. Tiba-tiba muncul seekor tikus.
Tikus itu dengan nada sinis mengatakan bahwa Aswameda yajña yang akan
diselenggarakan Pandawa itu tidak akan mampu menyaingi kehebatan yajña agung
yang pernah disaksikan beberapa waktu yang silam, juga di Kurukshetra. Tikus
yang nyeletuk di tengah-tengah perbincangan para patih adalah tikus unik,
karena sebagian tubuhnya berwarna kuning keemasan.
Mendengar penjelasan tikus yang berbulu emas
itu, para Patih pandawa menjadi kaget. Betapa tidak. Selama ini mereka tidak
pernah mendengar ada Upacara yajña di Kurukshetra, apalagi yajña yang maha
agung yang mengalahkan kemegahan dan keagungan Aswameda Yajña yang
diselenggarakan Pandawa. Dengan suara jelas dan tenang, tikus berbulu emas itu
melanjutkan ceritanya. Para Patih dan masyarakat yang kebetulan ada disana
mendengar cerita tikus itu dengan penuh perhatian dan terheran-heran.
Tikus yang berbulu emas ltu menceritakan bahwa
beberapa bulan yang lalu ada empat brahmana yang hidupnya sangat miskin harta
benda. Keempat brahmana itu terdiri dari seorang ayah dan istrinya serta
seorang anak dan menantunya. Keempat brahmana itu sepanjang hari hanya hidup
dari mencari sisa-sisa panen padi atau jagung. Pagi-pagi buta, ketika fajar
baru menyingsing diufuk timur, keempat brahmana itu sudah pergi mencari
sejumput jagung. Mereka baru pulang ketika mentari sudah terbenam ke tempat
peraduannya. Begitulah setiap hari, brahmana itu hanya mengandalkan sisa-sisa
panen untuk mengisi perutnya yang ramping. Keempat brahmana itulah yang
menggelar yajha agung di Kurukshetra dengan sarana sejumput tepung jagung.
Hanya dengan sejumput tepung jagung sudah bisa
menggelar yajña agung? Tanpa memberi kesempatan pendengarnya berkomentar, Tikus
yang aneh bin ajaib itu menuturkan kisah brahmana tadi lebih lengkap.
Pada suatu hari, keempat brahmana itu mencari
sisa-sisa panen jagung yang baru kemarinnya dipetik oleh pemilik kebun. Petani
jagung itu rupanya sangat cermat memanen jagungnya, sehingga hampir tidak ada
jagung yang masih menempel di batangnya. Namun keempat brahmana itu akhirnya
mendapat juga memungut sisa-sisa jagung yang sudah dipanen. Tentu saja
jumlahnya amat sedikit. Setelah di tumbuk, jadilah sejumput tepung.
Tepung itu kemudian dimasak jadi bubur lalu
dibagi rata. Sebelum menikmati bubur jagung itu, tidak lupa pula mereka berdoa
kepada. Tuhan Yang Maha Pemurah atas AnugrahNya. Begitu keempat brahmana tadi
akan menikmati bubur, datanglah seorang brahmana tua, badannya kurus kering.
hanya kulit yang membalut tulang. Brahmana itu mengaku sangat lapar dan
menderita sakit. Mengaku sudah lama tidak makan, Brahmana itu memohon bantuan
kepada keempat brahmana yang miskin tadi, sudi kiranya diberi makanan untuk
mengobati sakitnya. Keempat Brahmana miskin itu dengan penuh keikhlasan dan
penuh kasih, menyodorkan bubur jagung yang sebenarnya sudah siap dimakan.
Begitu bubur jagung diserahkan, sebagian makanan itu jatuh dan kebetulan
menimpa seekor tikus yang sedang berada dibawahnya, karena ketulusikhlasan yang
demikian tinggi melatar belakangi persembahan itu maka tubuh tikus yang terkena
tepung jagung tadi menjadi emas seketika. Setelah menikmati bubur jagung
tersebut, maka brahmana itu sembuhlah dari penyakitnya dan selanjutnya
menghilang. Kemudian terdengarlah suara gaib, bahwa berkat keagungan yajña itu,
maka keempat brahmana miskin tadi mendapat tempat yang utama di sorga. Suara
gaib itu tidak lain dari sabda Dewa Siva. Beliaulah yang menjelma menjadi
brahmana sakit kelaparan untuk menguji keempat brahmana miskin tadi.
Demikianlah ukuran yajña yang agung.
Keagungan yajña dalam bentuk persembahan bukan
diukur dari besar dan megahnya bentuk upacara, tetapi yang paling penting
adalah kesucian dan ketulusikhlasan dari orang-orang yang terlibat melakukan
yajña.
Setelah tikus berkulit emas selesai
menjelaskan yajña agung di Kurukshetra itu, barulah patih Panca Pandawa
memahami betul arti keagungan suatu yajña. Letak keagungannya adalah pada
keikhlasan. Bhagavadgita XVIII. 2-4 mengisyaratkan sebelum mencapai sanyasin
atau lepas sekali dengan ikatan duniawi, maka terlebih dahulu hendaknya
melakukan Tyaga. Tyaga adalah suatu usaha awal untuk membebaskan diri dari
keterikatan duniawi guna menuju Sanyasin. Dalam sloka 5 bab. XVIII Bhagavadgita
disebutkan, Tyaga itu memiliki tiga perwujudan yaitu yajña dana dan tapa. Pada sloka
berikutnya dipertegas lagi bahwa pekerjaan melakukan yajña, dana dan tapa itu
harus dilakukan tanpa mengikatkan diri dengan hasilnya. Melakukan yajña, dana
dan tapa ini adalah suatu perbuatan yang dapat menyucikan orang-orang agar
menjadi orang yang bijaksana.
Tujuan yadnya pada dasarnya adalah untuk
mencapai hidup bahagia dan kelepasan. Di dalam Manawa Dharmasastra VI, 35
disebutkan, bahwa pikiran (manas) baru dapat ditujukan kepada kelepasan setelah
tiga utang terbayar (Pudja dan Sudharta, 1995 : 336). Mengapa manusia wajib
membayar utang itu? Sebagaimana dikemukakan dalam Bhagavadgita III 10, Rna
(utang) itu muncul justru karena Tuhan telah melakukan yajña. Sabda agung itu
adalah sebagai berikut :
Pada zaman dahulu kala Prajapati menciptakan
manusia dengan yajña dan bersabda Dengan ini engkau akan berkembang biak dan
akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu ( Pendit, 1988 : 89).
Waktu pelaksanaan upacara Panca yajña di Bali
dilakukan mulai dari sehari-hari sampai dengan jarak waktu cukup lama yaitu seratus
tahun. Tingkatannya juga dari yang terkecil sampai terbesar.
Sesungguhnya melaksanakan Panca Yajña itu
tidaklah semata-mata berupa Upacara agama (ritual dan serimonial saja). Panca
yajña dapat diwujudkan dengan perbuatan nyata yang langsung bermakna bagi
kehidupan sehari-hari. Misalnya : menyekolahkan anak dengan penuh dedikasi
sehingga anak itu kelak menjadi manusia yang mandiri dan berkualitas. Selain
itu, memelihara kelestarian lingkungan adalah sudah berarti melakukan Bhuta
Yajña. Menghormati dan mendengarkan dengan baik nasehat-nasehat orang tua dan
juga mengabdi kepada Beliau adalah tergolong Pitra Yajña.
Jika demikian halnya maka setiap hari bahkan
setiap saat, umat bisa melakukan yajña. Dan tentu tidak sedikit umat Hindu
sudah berbuat demikian. Namun diantara sekian umat yang melakukan yajña,
mungkin lebih sedikit yang sudah menyadari bahwa apa yang sudah diperbuat
sesungguhnya sudah termasuk yajña.
Kalau menyimak dan menghayati ajaran Hindu
terutama ajaran Panca Yajña maka sudah sepatutnya melaksanakan inti pokok
ajaran itu untuk melengkapi pelaksanaannya. Dalam melaksanakan Panca Yajña
sering dianggap sebagai beban hidup. Selain itu ada pula umat yang melakukan
Panca Yajña dengan maksud jorjoran, pamer kemewahan, ingin mendapatkan pujian
dan maksud-maksud tertentu lainnya. Umat yang awam sering beranggapan, kalau
belum mampu melaksanakan upacara besar akan mendapat sanksi moral dari Tuhan.
Dari keyakinan yang keliru ini, timbullah pelaksanaan upacara yang dipaksa
dengan mencari utang atau menjual harta warisan agar dapat menggelar upacara
besar-besaran. Karena pelaksanaannya dipaksakan, maka sudah jelas, yajña itu
dilakukan dengan tidak ikhlas. Bahkan kadang-kadang pelaksanaan yajña itu
menimbulkan konflik, disharmoni, misalnya saling mencurigai sehingga timbul
perpecahan dalam keluarga. Akibatnya? yajña yang menelan banyak materi dan
energi itu gagal total. Sebab melakukan yajña sesungguhnva bertujuan menuntun
umat manusia mewujudkan kehidupan yang harmoni dengan Tuhan, harmoni dengan
sesama, dan harmoni dengan alam lingkungan.
Di dalam yadnya unsur keharmonian dijaga
karena di dalamnya terdapat lima unsur
penyucian berupa mantra, yantra, tantra, yajña dan yoga.
a. Mantra
yaitu doa-doa yang harus diucapkan oleh umat kebanyakan, Pinandita, dan pendeta
sesuai dengan tingkatannya.
b. Yantra
yaitu alat atau simbul-simbul keagamaan yang diyakini mempunyai kekuatan
spiritual untuk meningkatkan kesucian.
c. Tantra
yaitu kekuatan suci dalam diri yang dibangkitkan dengan cara-cara yang
ditetapkan dalam kitab suci.
d. Yajña
yaitu pengabdian yang tulus ikhlas atas dasar kesadaran untuk dipersembahkan.
Ketulusikhlasan ini akan dapat meningkatkan kesucian.
e. Yoga
artinya mengendalikan gelombang-gelombang pikiran dalam alam pikiran untuk
dapat berhubungan dengan Tuhan. Pengendalian dalam yoga ada delapan tahapan
yang disebut : Asta Yoga yang meliputi : Yama, Niyama, Asana, Pranayama,
Darana, Dhyana dan Samadhi.
Sekali lagi perlu ditegaskan, upacara yajña
yang besar seyogyanya mengandung lima unsur penyucian itu. Kesimpulannya tujuan
yadnya adalah untuk melakukan penebusan utang atau Rna. Sedangkan penyucian
dilakukan agar Atman kembali bersatu dengan Paramatma (Putra, 2005 : 17).
Di dalam melakukan yadnya agar tercapai sesuai
dengan tujuan yadnya itu sendiri hendaknya dilaksanakan dengan kualitas yang
baik. Di dalam Bhagavadgita XVII, 11, 12 dan 13 diuraikan ada tiga
tingkatan yajña dilihat dari segi kualitasnya. Tiga yajña itu yakni :
1. Tamasika
Yajña yaitu yajña yang dilakukan tanpa mengindahkan petunjuk-petunjuk
sastranya, tanpa mantra, tanpa ada kidung suci, tanpa ada daksina, tanpa
didasari oleh kepercayaan.
2. Rajasika
yajña vaitu yajña yang dilakukan dengan penuh harapan akan hasilnya dan
dilakukan untuk pamer saja.
3. Satwika
yajña yaitu kebalikan dari Tamasika yajña dan Rajasika yajña bila didasarkan
penjelasan Bhagavadgita tersebut diatas ( Maswinara, 1997 : 469-470).
Dari uraian tersebut di atas ada tujuh syarat suatu yajña yang
disebut Satwika yajña yaitu : sradha, lascarya, sastra, daksina, mantra, gita,
annasewa, dan nasmita.
1. Sradha
artinya pelaksanaan yajña hendaknya dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa
yang digariskan oleh peraturan yang beryajña (yajña Vidhi) harus diyakini
kebenarnya. Menegakkan keyakinan dalam melakukan upacara yajña adalah sesuatu
yang mutlak. Yajña tidak akan membawa dampak spiritual kalu tidak
dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang akan
menyebabkan semua simbol dalam upakara menjadi bermakna rohani. Tanpa keyakinan
yang mantap, lambang-lambang yang terdapat dalam upakara hanya akan berarti
sebagai suatu pajangan keindahan material tanpa arti.
2.
Lascarya, artinya suatu yajña yang dilakukan dengan penuh keikhlasan. orang
yang ragu-ragu melaksanakanYajña tidak akan mendapat anugrah dari Sanghyang
Widhi.
3.
Sastra, yaitu hukum yang berlaku dalam melaksanakan yajña yang disebut Yajña Vidhi.Beryajña
haruslah dilakukan berdasarkan petunjuk sastra. Misalnya menurut sastra upacara
atma Wedana harus dilakukan setelah upacara Sawa Wedana dan terakhir barulah
upacara Dewa Pitra Pratista. Tapi kalau
susunan upacaranya sengaja, dibalik, yaitu upacara Dewa Pitra Pratista
dilakukan lebih dahulu, kemudian baru Sawa Wedana dan atma Wedana, ini berarti
tidak sesuai dengan sastra.
Kata sastra dalam hal ini adalah peraturan
atau ketentuan hukum yang benar-benar bersumber dari kitab suci. Kedudukan
hukum kitab suci Hindu disebutkan dalam Manawa Dharmasastra II,6 sebagai
berikut:
Idanim
dharma pramananyaha
Wedokhilo
dharmamulam
smrti sila
cacat widam
acharascai
wasadhunam
atmanastuti
sewa ca.
Artinya:
Seluruh kitab suci Veda merupakan sumber pertama
dari dharma. Kemudian sumber dharma berikutnya adalah adat istiadat, lalu
tingkah laku yang terpuji dari orang-orang budiman yang mendalami Veda juga
kebiasaan orang-orang suci dan akhirnya kepuasan diri sendiri ( Pudja, 1995 :
62 ).
4.
Daksina, yaitu suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan benda atau uang yang
dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara. Persembahan ini
sangat penting dan bahkan merupakan salah satu unsur untuk suksesnya upacara.
5. Mantra
dan Gita sangat penting dalam upacara. Setiap upacara yang berkualitas haruslah
ada mantra dan gita (lagu-lagu suci untuk pemujaan) yang diucapkan umat,
pinandita dan pendeta sesuai dengan aturannya. Tentang mantra telah dijelaskan
pada bagian depan tulisan ini.
6. Annasewa,
yaitu jamuan makan kepada tamu upacara (atiti yajña) sesuai dengan kemampuan
masing-masing. Namun tentang jamuan ini tidak boleh dipaksakan. Pemberian makan
pada para atiti yajña atau tamu yajña, adalah merupakan syarat yang penting
dari suatu yajña yang baik. Dalam Manawa Dharmasastra disebutkan, memberi makan
dan melayani tamu-tamu yajña adalah tergolong Manusa Yajña yang dalam Manawa
Dharmasastra III, 70 dan 81 disebut Narayajña/Nara jnotithi pujanam,
maksudnya melayani tamu dengan ramah tamah dan memberikan suguhan dengan ikhlas
adalah tergolong Narayajña.
Kewajiban
menjamu dalam kegiatan upacara agama Hindu harus disesuaikan dengan kemampuan.
Tidak boleh menjamu secara berlebihan apalagi melampaui batas kemampuan
sehingga harus mengambil utang. Yajña yang dilakukan dengan memaksakan
kemampuan adalah yajña yang tergolong Rajasika Yajña.
7.
Nasmita, artinya bahwa suatu upacara agama hendaknya tidak dilangsungkan dengan
tujuan untuk pamer kemewahan atau pamer kekayaan dengan maksud tamu dan
tetangga berdecak kagum. Tetapi bukan berarti bagi yang mampu tidak boleh
menampilkan kemewahan dan keindahan dalam pelaksanaan upacara, asalkan
kemewahan dan keindahan yang dihadirkan itu tidak dilatarbelakangi untuk tujuan
pamer apalagi dengan maksud menyaingi upacara yang pernah dilangsungkan oleh
tetangga atau orang lain. Kemewahan dan keindahan hanya pantas dilangsungkan
dengan tujuan mengagungkan nama Tuhan.
Memang tidak usah ditutupi, bahwa pembobotan
aktivitas kehidupan beragama Hindu di Indonesia umumnya dan di Bali khususnya
masih lebih menekankan aspek ritual dan serimonial. Adakalanya serimonial
mengalahkan ritual. Upacara keagamaan sering dipakai arena unjuk eksistensi
dengan merendahkan aspek atau unsur yang lain. Masih banyak upacara agama yang
mengutamakan kemantapan ritual. Ada orang yang mendadak rajin ke pura kahyangan
jagat karena baru membeli mobil mewah yang baru dengan pakaian yang serba
mewah. Sedangkan untuk sembahyang di merajannya sendiri hampir tidak pernah.
Atau kalaupun sembahyang, dilakukan dengan perasaan yang kurang mantap.
Ada upacara yang dihadirkan dengan menonjolkan
atau sengaja memamerkan kemewahan agar tetangga menjadi terkagum-kagum. Ada
upacara sengaja mengundang pejabat tinggi dari tingkat pusat sampai ke tingkat
lokal. Waktu, tenaga dan dana tentu banyak dihabiskan untuk mengurusi kedatangan
pejabat itu sedangkan kelancaran upacara menjadi terganggu.
Memang kehadiran pemimpin pemerintahan dan
pendeta merupakan syarat penting dalam upacara. Tapi sekali lagi bukan untuk
maksud pamer. Dalam Upanisad dinyatakan, pendeta dan tamu harus mendapat
perlakuan yang istimewa karena mereka itu, adalah “perwujudan” dewa.
Dalam Taiteaya Upanisad disebutkan Acharya
deva bawa, Athiti deva bawa. Artinya : Pendeta bagaikan penjelmaan dewa (dalam
yajña) tamupun ibarat penjelmaan dewa (dalam yajña). Menghadirkan pejabat
sebagai seorang pemimpin bukan dimaksudkan untuk unjuk eksistensi, tetapi
sebagai pengesahan suatu yajña yang baik atau Sattwika Yajña. Sebagaimana telah
banyak disinggung, upacara yajña adalah suatu media untuk merealisasikan rasa
dekat manusia dengan Tuhan, dengan sesama seperti keluarga dan masyarakat
lingkungan, pendeta dan pemimpin. Upacara juga merupakan suatu visualisasi
filosofi untuk mengenali isi alam dan menunjukkan kasih sayang manusia pada isi
alam ciptaan Tuhan. Rasa dekat melalui pelayanan hanya dapat dilakukan apabila
yang. empunya upacara tidak bersikap eksklusif. Sebab eksklusifisme dalam
upacara keagamaan akan dapat merenggangkan rasa dekat dan keakraban. Karena itu
sifat pamer dalam upacara harus dihindari. Sekali lagi ini bukan berarti
manusia tidak boleh menampilkan sesuatu yang indah, megah atau mewah. Hal itu
boleh saja dihadirkan asalkan sikap yang melatarbelakangi tidak bertujuan untuk
eksklusifisme namun semata-mata untuk persembahan dan mengagungkan nama Tuhan.
Secara lebih rinci kegiatan upacara Yadnya di
Bali meliputi lima bagian yang disebut panca yadnya selengkapnya sebagai
berikut :
Dewa Yajña
Umat Hindu melaksanakan upacara ini dengan
menghaturkan canang dengan kelengkapannya sehari-hari tiap-tiap Kliwon
(lima hari sekali), Kajeng Kliwon (15 hari sekali) tiap-tiap Purnama dan
Tilem (satu bulan sekali), tiap-tiap Tumpek, Buda Kliwon, Buda
Cemeng, Anggar Kasih, Buda Umanis, yang dilaksanakan sebulan sekali. Pelaksanaan
upacara Dewa Yajña itu yakni berdasarkan perhitungan wuku, wewaran, dan sasih.
Upacara Dewa Yajña dilakukan pula dalam bentuk upacara pujawali atau
ngodalin di pura atau sanggah pemerajan. Upacara ngodalin itu
didahului pula oleh upacara melaspas pura atau pelinggih bag yang baru membuat
tempat suci itu. Ada juga upacara mendem pedagingan bagi yang
pelinggihnya belum diisi pedagingan dan juga upacara menyusun pedagingan
(menambah pedagingan pelinggih atau sanggah merajannya) bagi yang
sudah mendem pedagingan lebih dan sepuluh tahun. Upacara Dewa Yajña
ini dilaksanakan pula dalam bentuk merayakan suatu hari raya seperti
melasti dalam rangka Tawur Kesanga, selain Galungan, Saraswati dan hari
raya Hindu lainnya.
Pitra Yajña
Upacara ini bertujuan untuk menghormati dan
memuja leluhur. Kata pitra bersinonim dengan pita yang artinya ayah atau dalam
pengertian yang lebih luas yaitu orang tua. Fungsi ayah atau bapa menurut
Kakawin Nitisastra ada lima, yang disebut Pancawida yaitu :
a. Matulung
urip rikalaning baya, artinya : menolong tatkala menghadapi bahaya.
b. Sang
maweh binojana, artinya orang yang memberikan makan.
c.
Sang mengupadyaya, artinya orang yang memberikan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
d. Sang
menyangaskara, artinya orang yang menyucikan diri dengan upacara.
e. Sang
ametuwaken, artinya orang yang menyebabkan lahir.
kitab
Sarasamuccaya menyebutkan ada tiga fungsi ayah yaitu :
a. Annadatha
yaitu orang yang memberikan makan.
b. Pranadatha
yakni orang yang memberi hidup atau jiwa.
c. Sarira
Krta artinya orang yang membangun dan membentuk badan jasmani.
Dalam kitab Taiterya Upanisad disebutkan sebagai berikut :
a. Pittri
dewa bawa
b. Naitri
dewa bawa
Artinya:
Ayah adalah perwujudan dewa (dalam keluarga).
Ibu adalah perwujudan dewa (dalam keluarga).
Dari sloka itu dapat disimpulkan, betapa
mulianya kedudukan orang tua dalam pandangan Hindu. Itulah sebabnya setiap
manusia Hindu wajib menaruh hormat dan berbhakti kepada orangtuanya.
Di India, scorang anak melakukan penghormatan
kepada orang tuanya dengan berbhakti dan melakukan Pada Sewanam yaitu menyentuh
kaki orang tuanya. Tradisi itu di India terpelihara sampai kini. Sayang sekali,
tradisi sungkem ini tak terpelihara di kalangan umat Hindu di Bali.
Di Bali hormat dan bakti kepada orangtua atau
leluhur dilakukan dalam bentuk upacara setelah beliau meninggal. Penghormatan
kepada orangtua atau leluhur lebih ditonjolkan dalam bentuk upacara yajña yang
disebut Pitra Yajña. Yang tergolong upacara Pitra Yajña adalah upacara Ngaben
atau Atiwa-tiwa (di Kalimantan disebut upacara Tiwah) yaitu upacara yang
bertujuan melepaskan Sanghyang Atma yang menjadi jiwa orangtua dari ikatan
Panca Maha Butha. Karena itu upacara Ngaben itu disebut pula Sawa Wedana.
Menurut Wrhraspati Tattwa, Atman yang telah
lepas dari ikatan Panca Maha Butha masih dibelenggu oleh Suksma Sarira. Suksma
sarira terdiri atas citta (budhi, manas dan ahamkara), indria atau panca
indria, triguna, panca tan matra dan karma-wasana. Suksma sarira ini merupakan
astralbody. Hal ini menyebabkan ada upacara Pitra Yajña tahap kedua yang
disebut Atma Wedana yaitu upacara yang melepaskan Sanghyang Atma dari ikatan
suksma sarira.
Upacara Atma Wedana menurut lontar Siwa Tattwa
Purana ada limajenis sesuai dengan tingkatan besar kecilnya upacara yaitu
sebagai berikut : Ngangseng, nyekah, memukur, maligia dan terbesar adalah
ngeluwer. Perbedaan upacara ini hanya dilihat dari besar dan kecilnya
pelaksanaan upacara sedangkan makna filosofisnya sama. Setelah upacara Atma
Wedana dilangsungkan upacara Dewa Pitra Pratista yaitu upacara menstanakan roh
suci leluhur di Kemulan. Setelah upacara Ngaben Sanghyang Atma bernama Sang
Pitra, sedangkan setelah upacara Atma Wedana, Sanghyang Atma bernama Dewa Pitra
yaitu pitra yang telah mencapai alam dewa atau sidha dewata. Upacara Dewa Pitra
Pratista dalam masyarakat disebut upacara Dewa Hyang atau nuntun ngelinggihang
Dewa Hyang. Secara filosofis, upacara nuntun Dewa Hyang ini tergolong upacara
Dewa Yajña. Begitu pula dalam bentuk upacara keagamaannya sudah digolongkan
upacara Dewa Yajña. Dalam lontar Purwa Bumi Kemulan disebutkan upacara nuntun
Dewa Hyang itu sama dengan ngodalin dewa (makadi ngodalin dewa). Demikian
upacara Pitra Yajña lebih menonjolkan bentuk ritual dari pada yang lainnya.
Manusa Yajña
Dalam rumusan kitab suci Veda dan sastra Hindu
lainnya, Manusa Yajña atau Nara Yajña itu adalah memberi makan pada masyarakat
(maweh apangan ring kraman) dan melayani tamu dalam upacara (athiti puja).
Namun dalam penerapannya di Bali, upacara Manusa Yajña tergolong Sarira
Samskara. Inti Sarira Samskara adalah peningkatan kualitas manusia. Manusa
Yajña di Bali dilakukan sejak bayi masih berada dalam kandungan upacara
pawiwahan atau upacara perkawinan. Upacara tersebut antara lain; upacara
pagedong-gedongan (bayi dalam kandungan), upacara bayi lahir, upacara kapus
pusar (putusnya tali pusar), upacara tutug kambuhan (42) hari, upacara
nyambutin (105 hari), upacara ngotonin (210 hari), upacara ngeraja swala
(upacara meningkat dewasa), upacara mepanden, atau. upacara potong gigi dan
upacara perkawinan atau pawiwahan.
Rsi Yajña
Menurut rumusan dalam kitab suci, Rsi Yajña
itu adalah menghormati dan memuja rsi atau pendeta. Dalam kegiatan upacara,
beberapa buku yang ditulis oleh tokoh-tokoh Hindu di Bali menyebutkan upacara
madiksa digolongkan ke dalam upacara Rsi Yajña. Kalau cocokkan dengan rincian
upacara dalam b Yajña Widhi, upacara tersebut tergolong upacara Manusa Yajña
karena meningkatkan status kesucian seseorang dari walaka menjadi sulinggih.
Dalam praktik upacara yajña di Bali, yang digolongkan upacara Rsi Yajña adalah
upacara Rsi Bojana yaitu upacara penghormatan kepada sulinggih atau pendeta
dalam bentuk menyuguhkan makanan yang disajikan dengan sangat terhormpat. Dalam
lontar Agastya Parwa disebutkan, Rsi Yajha ngaranya kapujan ring pandeta sang
wruh ring kalingganing dadi wang.. Artinya Rsi Yajña adalah berbakti pada
pendeta dan pada orang yang tahu hakikat diri menjadi manusia.
Dengan demikian melayani pendeta sehari-hari
maupun saat-saat beliau memimpin upacara tergolong Rsi Yajña. Mendalami b-b
sastra apalagi b suci Veda adalah melanjutkan cita-cita semua rsi, wajarlah hal
ini disebutkan Rsi Yajña.
Demikian penerapan rumusan Panca Yajña yang
dijabarkan oleh umat Hindu dalam praktik upacara agama Hindu. Pelaksanaan Panca
Yajña yang terkecil yang dapat dilakukan setiap hari adalah melakukan Yajña
Sesa setelah selesai masak. Habis masak makanan terlebih dahulu dipersembahkan
kepada Tuhan. Sisa persembahan itulah yang makan. Makanan itu adalah makanan
yang telah mendapat anugerah Tuhan. Karena itu makanan yang dimakan setelah
dipersembahkan disebut prasadam. Prasadam dalam bahasa Sanskerta artinya
anugerah.
Bhuta Yajña
Upacara ini lebih diarahkan pada tujuan untuk
nyomia Butha Kala atau berbagai kekuatan negatif yang dipandang dapat
mengganggu kehidupan manusia. Butha Yajña pada hakikatnya bertujuan untuk
mewujudkan Butha Kala menjadi Butha Hita seperti disebutkan dalam Sarasamuccaya
135. Butha Hita artinya menyejahterakan dan melestarikan alam lingkungan
(Sarwaprani) ( Kadjeng dkk, 1994 : 111). Upacara Butha Yajña yang lebih
cenderung untuk nyomia atau mendamaikan atau menetralisir kekuatan-kekuatan
negatif agar tidak mengganggu kehidupan umat manusia dan bahkan diharapkan
membantu umat manusia. Bentuk upacara Bhuta Yajña itu antara lain segehan, sampai dengan tawur. Segehan terdiri dari
lima belas jenis. juga memiliki banyak
jenis, dari eka sata yang mengorbankan
seekor ayam berbulu brumbun atau serba warna, sampai ada bernama Panca Kelud.
Intinya adalah, ayam sebagai bahan dasar caru itu. Bila upacara Bhuta Yajña
menggunakan kerbau, caru itu sudah bernama tawur. Jumlah kerbau yang digunakan
tergantung besar kecilnya upacara, dari satu ekor sampai 26 bahkan lebih ekor.
Pengertian Bhuta Yajña dalam bentuk upacara
amat banyak macamnya. Kesemuanya itu lebih cenderung sebagai upacara nyomia
atau mendamaikan atau mengubah fungsi dari negatif manjadi positif. Sedang arti
sebenarnya Bhuta Yajña adalah memelihara kesejahteraan alam.
Bhuta-Yadnya adalah suatu korban suci yang
bertujuan untuk menyucikan tempat (alam beserta isinya), dan memelihara serta
memberi penyupatan kepada para bhutakala dan makhluk-makhluk yang dianggap
lebih rendah dari manusia. Dengan demikian penyucian itu mempunyai dua sasaran
yaitu :
1.
Penyucian terhadap tempat (alam) dari gangguan dan pengaruh-pengaruh buruk yang
ditimbulkan oleh para bhuta-kala dan makhluk yang dianggap lebih rendah dari
manusia seperti tersebut di atas.
2.
Penyucian terhadap Bhuta-Kala dan makhluk-makhluk itu, dengan maksud untuk
menghilangkan sifat-sifat buruk yang ada padanya, sehingga sifat baik dan
kekuatannya dapat berguna bagi kesejahteraan umat manusia dan (alam). Hendaknya
disadari kehidupan ini memerlukan pula kekuatan-kekuatan dari mereka, misalnya
untuk menjaga rumah, menjaga diri sendiri dan sebagainya.
Pemeliharaan yang dimaksudkan disini adalah
untuk menjaga agar mereka tetap bersifat baik serta berada atau bergerak
menurut jalannya masing-masing, sehingga. tidak menimbulkan gangguan kepada
alam dan isinya. Suatu yang kelihatannya agak berlawanan adalah pemeliharaan
terhadap para. “binatang”. Seperti diketahui bahwa bentuk upakara Bhuta-yadnya
di Bali khususnya, mempergunakan banyak jenis hewan. Makin tinggi tingkatan
upakara itu, makin banyak pula hewan yang dipotong untuk yadnya tersebut.
Sehingga sepintas lalu seolah-olah tidaklah ada unsur-unsur pemeliharaannya.
Tetapi kalau diperhatikan lebih lanjut “Puja” dari “Pengelepas
perani/patikewenang”, yang diucapkan pada waktu, upacara “mepepada” dan setiap
akhir suatu yadnya, menunjukkan bahwa unsur pemeliharaan disini tidaklah
bersifat nyata seperti memberi makan, mengobati, dan sebagainya, melainkan
lebih bersifat abstrak/rohaniah yaitu meningkatkan hidup para binatang itu dari
alam hewan ke alam manusia. Jadi lebih bersifat “penyupatan”, kepadanya. Dengan
menjelmanya dia sebagai manusia kelak, agar dapat berbuat kebajikan, sehingga
dia dapat mencapai kesempurnaan hidupnya (memperbaiki “karma”nya).
Sebagai contoh dari “pengelepas perani” itu
adalah sebagai berikut :
Ong
indah ta sang dwi pada, saking purwa
desa sinangkan ta pamuliha maring
purwa-desa, menembah ta maring Sang
Hyang Iswara.
ONG
SANG namah linggan ta. Wus samangkana pasangsarga ling Sang Hyang Iswara, aywa ta tan mangantitiakena katuturan ira Sang Hyang
Dharma, tutur-tutur aywa lali, enget-enget aywa lupa, nahan teka ring dalem
kepatian. Yan dadi jadma dadi ya . wiku
sakti”, saguna kayanta aturakena ring ulun apan ulun umantukena ri .
ONG
SANG Sadya ya namah
Artinya
Ong perhatikanlah kau semuanya, ke arah timur tempat tujuanmu berpulang,
menyembahlah engkau kepada Sanghyang Iswara,. Ong Sang aksaramu, setelah itu
bersatulah engkau dengan Sanghyang Iswara, jangan sampai engkau tidak mengikuti
semua ajaran Sanghyang Dharma, terus di ingat janganlah lupa, sampai di alamnya
Tuhan, apabila nanti kau menjelma menjadi manusia, semoga engkau menjadi Wiku
Sakti, segala kekayaan yang diperoleh kembalikanlah kepadaKu, sebab Aku juga akan kembalikan lagi kepadamu. Semoga
mendapatkan kebenaran dari Sanghyang Iswara.
Demikian pula halnya dengan hewan yang berkaki
empat, perginya ke Selatan. Untuk segala jenis ikan, pergi ke Utara segala yang
berjalan dengan dada, pergi ke Barat; dan seterusnya termasuk jenis
daun-daunan, pohon-pohonan pergi ke Tengah.
Yang dimaksud dengan penyupatan dalam
hal ini adalah untuk mengembalikan mereka ke tempat/kepada asalnya dan memberi
peningkatan yang lebih sempurna kepadanya. Dibeberapa lontar seperti
Widhi-sastra, Yama-tatwa, Lebur disebutkan bahwa salah satu yang menjadi
Bhutakala, peri, jin, setan dan lain-lain, yang sejenis dengan itu adalah
dewa-dewa atau roh-roh yang terkutuk karena dosa-dosanya/kesalahannya, serta
diturunkan ke dunia untuk mencari “penyupatan”. Sebagai contoh misalnya adalah
: terkutuknya Dewi Uma menjadi Durga Dewi, kemudian “disupat” oleh Sahadewa
(dalam cerita Sudamala); terkutuknya roh Prabu Nahusa menjadi seekor naga yang
berbisa, kemudian “disupat” oleh Sang Bima dan Prabu Yudistira (dalam cerita
Wana-Parwa) dan lain-lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar