Paasako
matsyaghaati ca vyaadhah saakunikas tathaa
Adaataa
karsakas ca iava pancat te sama bhaginah.
(Parasara Dharmasastra II.10).
Artinya: Seorang
pasaka (orang yang menangkap binatang dengan memasang jerat) nelayan, pemburu,
penangkap burung, orang pelit dipandang sama dan sama juga kualitas dosanya.
HIDUP
di dunia ini memang tidak dapat menghindar sama sekali dari perbuatan dosa.
Dosa itu hanya dapat dikurangi dan dilemahkan dengan lebih banyak berbuat yang
baik seperti melakukan punia dan bhakti. Punia artinya melakukan kebajikan,
sedangkan bhakti melakukan pemujaan pada Tuhan dan Dewa Pitara atau leluhur
yang telah suci.
Bahkan
dalam Manawa Dharma Sastra III.68 dinyatakan bahwa tiap kepala keluarga
memiliki lima tempat pembunuhan. Lima tempat pembunuhan itu adalah tempat
memasak, batu pengasah, sapu, lesung dengan alunya, tempayan tempat air.
Pemakaian lima alat itu menimbulkan dosa.
Namun
dalam Manawa Dharma Sastra III.69 dinyatakan bahwa untuk menebus dosa terhadap
pemakaian lima alat itu tiap kepala keluarga diajarkan agar melakukan Panca
Yadnya tiap hari.
Panca
Yadnya tiap hari berwujud Yadnya Sesa yang di Bali disebut masaiban. Yadnya
dalam wujud simbolis dengan makanan yang dimasak hari itu sebelumnya disisihkan
sedikit dan dijadikan simbol persembahan sebagai wujud Panca Yadnya yang
terkecil. Hal ini dimaksudkan untuk mengimbangi dosa pembunuhan di lima tempat
tersebut.
Negara
maju seperti Amerika Serikat sudah memiliki Undang-undang Hak-hak Asasi Hewan.
Meskipun tidak dilarang memakan dagingnya, hewan itu harus diperlakukan dengan
perasaan yang halus. Tidak dibenarkan memperlakukan hewan dengan semena-mena.
Karena itu di AS kalau menyakiti hewan dengan semena-mena pasti ditangkap
apabila diketahui oleh petugas negara. Dalam sloka Parasara Dharmasastra yang
dikutip di atas dinyatakan bahwa pelit itu juga termasuk dosa, sama dengan
menyiksa binatang. Meskipun tergolong dosa yang ringan.
Orang
pelit itu adalah orang yang sudah mendapat karunia dari Tuhan berupa rezeki
lebih dari yang lain. Namun rezeki itu lebih banyak hanya untuk memenuhi
keinginannya sendiri. Perolehan rezeki lebih banyak dari yang lain itu adalah
suatu peluang yang diberikan oleh Tuhan untuk menolong mereka yang masih dalam
keadaan kekurangan. Pada zaman modern sekarang ini sesungguhnya sudah lebih
banyak tercipta peluang mendapatkan rezeki. Kalau dibandingkan dengan zaman
ekonomi masih mengandalkan sistem ekonomi agraris semata.
Mengapa
masih ada kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan, karena masih ada yang
pelit dan tidak adil dalam mendistribusikan rezeki tersebut. Mendapatkan rezeki
lebih dari orang lain sering tidak dijadikan kesempatan melakukan dana punia
kepada orang yang lebih miskin atau lebih membutuhkan. Bahkan banyak pihak
mendapatkan rezeki lebih banyak melalui jalan yang tidak adil, memeras mereka
yang kedudukan sosialnya lebih lemah. Bahkan ada yang mendapatkan rezeki lebih
banyak itu melalui cara-cara jahat. Rezeki yang lebih banyak sering dirasakan
sedikit meskipun secara nominatif mereka sudah jauh lebih banyak memiliki harta
benda dari yang lain. Namun hal itu dirasakan masih jauh dari cukup. Karena
itu, niat untuk berdana punia pun tidak muncul dalam diri. Orang seperti inilah
tergolong pelit. Rezeki yang diperolehnya tidak dikelola berdasarkan kesadaran
budi, lebih banyak menggunakan gejolak hawa nafsu.
Sifat
pelit banyak menimbulkan kesenjangan ekonomi dan sosial, yang dapat menjadi
pemicu timbulnya perbuatan-perbuatan dosa. Sifat pelit membunuh tumbuhnya
keseimbangan hidup di tengah kehidupan bersama dalam masyarakat. Penderitaan
akan dirasakan lebih pedih di hadapan orang yang serba berlebihan oleh mereka
yang kecil. Namun akan terobati kalau mereka yang memiliki rezeki lebih itu mau
menginvestasikan kelebihan untuk membuka peluang rezeki pada mereka yang lebih
kecil. Misalnya kalau mereka yang tergolong kaya itu mau berbelanja di warung
rakyat kecil, tidak selalu ke pasar swalayan, bahkan sampai ke luar negeri. Hal
itu akan dirasakan pula sebagai sesuatu yang baik dan sebagai suatu punia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar