Noranamitra mangelewihane wara
guna maruhur
Nora na satru mangalewihane ana
geleng ri hati
Nora na sih mangalewihane
sihikang antanaya
Nora na sakti daiwa juga sakti
tan anamanahen
(Nitisastra.II.5)
Maksudnya: Tidak ada sahabat yang melebihi ilmu yang luhur. Tidak ada musuh yang melebihi musuh dalam hati. Tidak ada kasih yang melebihi kasih orang tua pada anak. Tidak ada kesaktian yang dapat melawan nasib dewa juga tak bisa melawan.
Pada
zaman Kali Yuga ini, dharma hanya berkaki satu. Sedangkan adharma berkaki tiga.
Demikian dinyatakan dalam pustaka Manawa Dharmasastra I.81-82. Ini artinya
kekuatan adharma sangat kuat pengaruhnya di bhuwana agung dan bhuwana alit.
Manusia yang tidak mampu menguatkan hatinya dengan daya spiritual, bisa
kecenderungan keraksasaan (asuri sampad) yang mendominasi, daripada dewi sampad
atau kecenderungan kedewaan. Tanda manusia yang dikuasai oleh asuri sampad
menurut Bhagawad Gita XVI.4 adalah dhambo (suka berpura-pura), darpo (sombong),
abhimanas (membangga-banggakan wangsanya), krodha (pemarah, dengki dan
pendendam), parusia (keras dan kasar) dan ajnyana (bodoh tanpa ilmu atau kena
tujuh kegelapan). Kalau enam musuh itu kuat mempengaruhi diri seseorang, itulah
menjadi musuh terkuat yang bercokol dalam diri. Orang yang demikian itu akan
selalu serius melihat kejelekan orang lain dan meremehkan kelebihan orang lain.
Orang yang suka menjelek-jelekkan orang lain menurut Canakya Nitiasatra IX.2
disebut nara adhama artinya manusia rendahan tanpa martabat.
Sifat-sifat
asuri sampad inilah makin banyak menonjol pada zaman Kali. Untuk meredam
kecenderungan keraksasaan itu Swami Satya Narayana menyatakan cara beragama
zaman Kali ini dengan menjadikan diri Ksama Murti dan Prema Murti. Ksama Murti
artinya wujudkanlah diri jadi seorang pemaaf. Sedangkan Prema Murti wujudkan
diri kita sebagai seorang pengasih. Caranya, seriuslah melihat kelebihan orang
lain dan remehkan kekurangannya. Sebaliknya seriuslah melihat kekurangan diri
dan remehkan kelebihan diri. Apalagi sesama saudara yang hampir tiap hari akan
bertemu. Jangan sampai terjadi hubungan saudara tanpa sahabat.
Canakya
Nitisastra VII.17 menyatakan orang yang suka memusuhi saudaranya sendiri adalah
salah satu ciri bahwa orang itu menjelma dari neraka.
Kalau
asuri sampad yang kuat mempengaruhi diri seseorang akan menutup pandangan hati
nuraninya yang murni. Kecenderungan keraksasaannyalah yang akan mengendalikan
pandangan hidupnya. Dengan demikian akan lebih mudah melihat kesalahan dan
kejelekan orang lain dari kelebihannya.
Ada
cerita dalam pustaka Cina Kata yang dikutip dari Maha Bharata. Diceritakan
bahwa suatu hari di Astina Pura ada suatu upacara kerajaan sejenis resepsi
dewasa ini. Saat itu hadir Yudistira dan Duryodana duduk berdampingan dengan
Sri Krisna. Raja-Raja yang lainnya juga banyak yang hadir sebagai undangan
kerajaan. Saat bincang-bincang Sri Krisna bertanya pada Duryodana. Di antara
raja-raja yang hadir siapa di antaranya yang memiliki kehebatan yang lebih dan
patut dibanggakan. Pertanyaan Sri Krisna dijawab Duryodana bahwa tak satu pun
raja ini punya kehebatan dan kelebihan seperti dirinya. Satu per satu raja yang
hadir itu dikemukakan cacat celanya oleh Duryodana. Sama sekali tidak dilihat
kelebihan mereka. Selanjutnya Sri Krisna bertanya yang sama kepada Yudistira.
Jawaban Yudistira sangat berlawanan dengan Duryodana. Yudistira dengan cermat
mengemukakan berbagai kelebihan dari raja-raja yang hadir.
Dari
cerita singkat ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa semua orang memiliki
kekurangan dan kelebihan. Cuma bentuk kelebihan dan kekurangan itu yang
berbeda-beda. Orang yang lebih banyak dipengaruhi asuri sampad akan melihat
jelek-jeleknya saja. Karena sesungguhnya itulah cermin dirinya. Kalau dewi
sampad yang mendominasi, maka siapa pun akan dilihat baik-baiknya saja. Orang
yang didominasi oleh dewi sampad, hidupnya senantiasa akan lebih damai dari
mereka yang didominasi oleh asuri sampad.
Untuk
meenguatkan kecenderungan dewi sampad pada zaman Kali ini, kuatkan cara
beragama dengan japa, dhyana, seva dan puja sahasra nama.
Japa artinya beragama
dengan mengulang-ulang pengucapan mantra atau nama Tuhan. Dalam Sarasamuscaya
369 dinyatakan: Mapaluwy-luwyning kojaran Sang Hyang Mantra japa ngarania.
Artinya mengulang-ulang pengucapan mantra Weda itu japa namanya. Mantra sabda
suci Tuhan kalau diucapkan dan direnungkan dalam-dalam maka akan melahirkan
vibrasi suci dalam diri.
Dhyana artinya selalu
mengingat nama Tuhan. Dalam Sarasamuscaya 260 ada dinyatakan: Dhyana ngarania
ikang Siwa smaranam. Artinya: Dhyana namanya selalu mengingat nama Tuhan. Nama
atau sebutan Tuhan itu adalah pemberian orang suci seperti para Maha Resi.
Dengan mengikuti sebutan para Resi untuk kemahakuasaan Tuhan itu juga akan
menumbuhkan vibrasi suci pada diri seseorang.
Seva artinya
pelayanan pada Tuhan dan semua ciptaan-Nya. Resi Vyasa menciptakan Subha Sita
atau kata-kata bijak: Para Upakarapunyaya, papaya para pidana. Artinya barang
siapa yang selalu melayani orang lain akan dapat punia. Bagi yang suka menyiksa
orang lain akan dapat papa atau derita.
Puja sahasra nama artinya pujalah
Tuhan dalam berbagai nama yang dianggap paling sesuai dirasakan dengan keadaan
diri. Dengan cara beragama seperti itu akan muncul vibrasi mulia untuk
menguatkan dominasi dewi sampad dalam diri. Dengan demikian kita akan menjadi
seorang pemaaf dan penyayang. Hidup pun jadi damai tidak mudah bermusuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar