Dasa puuvaanparaan vamsyan
Aatmanam caikavim sakam
Braahmiputrah sukrita krnmoca
Yedenasah pitr rna
(Manawa
Dharmasastra III.37).
Maksudnya:
Seorang anak yang
lahir dari Brahma Vivaha, jika ia melakukan perbuatan baik akan dapat
membebaskan dosa-dosa sepuluh tingkat leluhurnya dan sepuluh tingkat
keturunannya dan ia sendiri yang kedua puluh satu.
SLOKA Manawa
Dharmasastra ini memiliki makna yang sangat luas. Untuk menyelamatkan leluhur
dan keturunan harus dimulai dari melakukan perkawinan dengan cara yang
terhormat. Perkawinan Brahma Vivaha adalah jenis perkawinan yang paling
terhormat. Di samping dilakukan dengan landasan cinta sama cinta yang juga
sangat penting dilakukan dengan pertimbangan kerohanian yang dalam.
Kalau dari
perkawinan ini melahirkan putra dan putra itu berperilaku dan berbuat baik maka
perbuatan baik itu akan dapat membebaskan dosa-dosa leluhur dan keturunannya,
di samping diri sang putra sendiri. Perbuatan baik yang bagaimana dapat
menyelamatkan membebaskan leluhur dan keturunan tersebut. Dalam Narada Purana
disebutkan nasihat Dewa Yama kepada Raja Bagirata yang ingin membebaskan
dosa-dosa leluhurnya yang pernah menghina dan menyiksa Resi Kapila yang sedang
bertapa.
Salah satu nasihat
Dewa Yama kepada Raja Bagirata adalah dengan jalan melanjutkan cita-cita suci
dari leluhur. Cita-cita suci leluhur itu tidak semata-mata melakukan meditasi
atau Dewasraya. Tetapi, dengan melakukan perbuatannya nyata seperti menjaga
tetap lestarinya Sarwaprani (tumbuh-tumbuhan dan hewan). Menolong mereka yang
sedang susah dan menderita. Membuka lapangan kerja bagi masyarakat yang
memiliki keahlian dan keterampilan. Membangun pasar, tempat peristirahatan,
menghormati mereka yang berjasa, dan menegakkan keadilan, serta memelihara
tempat pemujaan, dst.
Dengan perbuatan
baik itulah leluhur akan bebas dari dosa dan kemudian keturunan mendapatkan
keselamatan. Untuk memelihara dan melestarikan tumbuh-tumbuhan dan hewan
leluhur umat Hindu di zaman lampau meninggalkan warisan konsep kawasan suci.
Kawasan suci itu disebut Alas Angker, Alas Rasmini atau Alas Arum. Salah satu
cara melestarikan kawasan suci tersebut dengan membangun tempat pemujaan
sederhana dengan areal yang tidak luas. Tempat pemujaan di hutan itu tidak
perlu didatangi oleh banyak umat. Umat yang datang ke tempat pemujaan di hutan
itu hanyalah orang-orang yang terpilih yang memang benar-benar bertujuan untuk
melakukan pemujaan yang tulus. Bukan untuk rekreasi atau untuk mereka yang
berkaul yang memohon atau melestarikan jabatan, mohon memenangkan tender proyek
dan tujuan-tujuan duniawi lainnya. Karena itu, banyak leluhur kita di masa
lampau meninggalkan hutan-hutan yang disebut alas angker. Di Bali banyak hutan
yang distatuskan sebagai Alas Angker.
Tetapi, sekarang sudah
banyak yang dirusak ditebangi pohon-pohon yang berfungsi sebagai waduk menahan
air. Di Pulau Jawa pun masih banyak ada peninggalan Alas Angker seperti
misalnya Alas Purwa di Jawa Timur. Alas Purwa ini juga merupakan peninggalan
leluhur di masa lampau sebagai Alas Angker.
Arti hutan yang
distatuskan sebagai Alas Angker oleh leluhur di masa lampau bertujuan menjaga
hutan dengan menstatuskan hutan itu sebagai hutan yang keramat. Hutan yang
disebut Alas Angker itu karena tempatnya dikeramatkan. Di sana tentu banyak
vibrasi kesucian yang tersembunyi di balik lebatnya pepohonan di hutan
tersebut. Oleh karena itu, orang-orang yang memiliki kepekaan rohani akan
sangat tertarik untuk datang ke tempat-tempat yang seperti itu. Kita tentunya
sangat mengharap siapa pun boleh datang ke hutan yang angker seperti itu, cuma
yang perlu dijaga adalah niat suci dan tulus ikhlas. Janganlah datang dengan
tujuan untuk rekreasi duniawi atau memanjatkan permohonan yang Rajasika dan
Tamasika.
Kalau Alas Angker
tidak lagi memancarkan keangkerannya maka orang-orang yang berniat jahat
seperti pencuri kayu hutan akan tidak merasa takut datang ke hutan yang sudah
merosot keangkerannya. Di sinilah kita tidak melanjutkan konsep Alas Angker
yang ditinggalkan oleh leluhur kita. Kalau ini sampai terjadi tinggal kita
menunggu balasannya. Balasan itu akan menyengsarakan rakyat seperti hutan
gundul, banyak pohon yang tumbang, sumber air menghilang, udara terpolusi,
cuaca menjadi makin panas.
Dari alam yang
rusak itu manusia tinggal memetik buah penderitaan darinya. Dengan merusak alam
seperti itu, leluhur dan keturunan pun tidak akan terbebaskan dari
dosa-dosanya. Kita bersyukur kepada umat di Jawa Timur yang makin sadar untuk
menjaga keangkeran hutannya seperti umat Hindu di Alas Purwa. Semoga
hutan-hutan berserta isinya dijaga dengan cara niskala diikuti dengan cara-cara
yang sekala yaitu dengan langkah nyata melestarikan hutan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar