Kehidupan Grhasta yang ideal”
Resi Sukadewa Goswami mengisahkan dialog
antara Prabu Yudhistira dengan Resi Narada, kepada Prabu Parikesit.
Dialog ini terjadi pada saat Prabu Yudhistira telah selesai
menyelenggarakan Yagna terbesar di muka bumi ini yaitu yang dikenal
dengan nama Aswa Medha. Konon walaupun upacara agung tersebut
terselengara dengan baik sang raja yang teramat bijaksana ini selalu
saja resah dengan kehidupannya sebagai seorang kepala rumah tangga. Pada
saat seperti itu turunlah Resi Narada dari Kahyangan berkunjung kepada
sang raja yang pada kesempatan yang langkah ini langsung saja memohon
diajarkan mengenai kehidupan grhasta yang ideal untuk zaman Kali-Yuga
ini, sang raja sadar bahwa anak cucunya dan masyarakat Hindhu Dharma
selanjutnya di zaman-zaman mendatang ini akan berubah pola hidupnya
karena kemajuan dan imbas Kali-Yuga, maka akan diperlukan pola pemujaan
yang sederhana dan Satvik agar Hindhu Dharma dapat bertahan sesuai
dengan ajaran Veda-Veda walaupun tidak harus seratus persen seperti
ajaran Veda, karena dengan turunnya ajaran Bhagavat-Gita yang merupakan
rangkuman dan intisari dari berbagai Purana, Upanishad dan Veda, maka
sempurnalah Hindu Dharma dari segi ritual dan filosofi. Semenjak saat
itu sebenarnya Hindu Dharma sudah dipersiapkan untuk menjadi agama
modern sesuai dengan tuntutan zaman dan bukan dibebani dengan
ritual-ritual yang memakan waktu dan biaya demi keserakahan segelintir
kaum Brahmana yang salah jalan.
1. ”Maharaja
Yudhistira memohon kepada Resi Narada,“Wahai Resi nan agung, Wahai
Prabhu, sudikah menjelaskan bagaimana caranya agar kami yang menjalankan
kehidupan rumah tangga ini, yang tidak menyadari akan hakikat tujuan
kehidupan ini, dapat mencapai kebebasan, selaras dengan sabda-sabda yang
ada di berbagai Veda-Veda.”
Keterangan
: Pada bab-bab sebelum ini sebenarnya Resi Narada telah menerangkan
hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan dan kewajiban seorang
Brahmachari, para pengikut Vanaprastha dan para sanyasi. Tetapi konon di
zaman ini ketiga tipe insan-insan ini sudah langka di dunia ini, jadi
dimanakah kita bisa menemukan insan-insan ideal yang menjalankan
kehidupan Brahmachari yang sejati. Oleh sebab itu kami hanya mengulas
bab tentang grhasta saja, yaitu mengenai kehidupan keluarga ideal
sehari-harinya. Di dunia Barat kehidupan grhasata sudah mulai rapuh,
nilai-nilai kekeluargaan telah hilang dan kita di Timur sedang mengikuti
irama ini dengan pesat melalui berbagai kemajuan mass-media dan
teknologi dengan mengorbankan semua nilai-nilai luhur warisan budaya dan
dharma kita. Akibatnya baik di Barat mau pun di Timur manusia sedang
berupaya mencari kembali nilai-nilai yang hilang ini, dan tidak ada yang
lebih utama dari ajaran Sanatana Dharma ini yang telah berimbas secara
langsung maupun tidak langsung ke ajaran-ajaran lainnya di dunia ini
dari masa ke masa. Seyogyanya kita semua merasa bersyukur dan berterima
kasih kepada semua resi dan manusia-manusia agung di atas ini yang
berkenan untuk mengajarkan ajaran-ajaran yang adi-luhung ini kepada kita
semua dengan penuh kesadaran akan hadirnya Kali-Yuga dan dampaknya
terhadap umat manusia ini.
2. Resi Narada bersabda :
“Wahai
raja yang kukasihi, mereka-mereka yang menjalankan peran sebagai kepala
rumah tangga haruslah bekerja demi kehidupan mereka, dan sebaiknya dari
pada menikmati hasil-hasil dari pekerjaan mereka, seharusnya
mereka-mereka ini mempersembahkan hasil pekerjaan mereka kepada Kresna
Vasudewa. Dan untuk memuaskan Vasudewa (Tuhan Yang Maha Esa) ini dapat
dipelajari berbagai jalan yang sempurna melalui pendekatan dengan para
bakta-bakta agung pemuja Yang Maha Kuasa ini.”
Keterangan
: Ribuan tahun berlalu setelah sabda di atas diturunkan dan semenjak
maupun sebelum itu sudah menjadi keharusan bagi pencari kebenaran untuk
mencari seorang guru penuntun atau berasosiasi dengan para orang-orang
suci demi mempelajari hakikat akan kehidupan ini. Bahkan Guru Nanak yang
lahir sekitar 550 tahun yang lalu berulang-ulang menganjurkan hal ini
kepada para pengikutnya agar mampu menghayati ilmu Vasudewapana yaitu
ilmu pengetahuan tentang Yang Maha Kuasa dan segala manifestasi maupun
misteri kehidupan yang diciptakanNya. Para resi dan bakta-bakta ini bisa
lebih efektif mengajari kita semua dari pada upacara-upacara yang tidak
ketahuan ujung pangkalnya. Sebenarnya itulah intisari Sanatana Dharma
yaitu belajar satu dari yang lain secara berkesinambungan. Seandainya
seseorang sehari-hari bergaul dengan para penjudi dan penggemar tajen,
maka lambat laun iapun akan terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan buruk
ini, dan seandainya ia bergaul dengan insan-insan yang satvik maka
lambat laun ia pun akan berubah peri-lakunya menjadi satvik. Ini sudah
menjadi salah satu dari hukum alam, cobalah dan anda akan mendapatkan
jalan tersebut, kalau hanya membaca buku saja dan merasa sudah suci,
maka sia-sialah pengharapan anda itu.
3/4. Resi Narada melanjutkan :
“Seorang
grhasta harus selalu berasosiasi lagi dan lagi dengan para kaum yang
suci dan dengan penuh rasa hormat ia harus mendengarkan sari dari segala
aktifitas Yang Maha Agung dan berbagai ReinkarnasiNya sesuai dengan
yang telah dijabarkan di Srimad Bhagavatam dan di berbagai Puranas.
Selanjutnya secara bertahap ia melepaskan keterikatannya dengan istri
dan putra-putrinya ibarat seseorang yang terbangun (sadar) dari
mimpinya.”
Keterangan
: Sehari-hari kita bekerja begitu bersemangat untuk mendapatkan sesuap
nasi dan tidak perduli apakah yang dihasilkan itu halal (satvik) atau
tidak (tamasik), dan lupalah kita semua akan kewajiban dan amanat Yang
Maha Kuasa agar meluangkan sedikit waktu saja untuk dihaturkan kembali
kepadaNya dalam bentuk bakti dan dedikasi yang berkesinambungan
setiap harinya selama beberapa menit atau saat saja, kalau tidak lalu
apa bedanya kita dengan kucing dan anjing yang berada disekitar kita.
Tubuh yang menyandang Sang Atman dan budi pekerti ini kita sia-siakan
dengan alasan bahwa zaman telah berubah, tetapi mari kita coba menatap
ke langit dan mempelajari apakah sang langit dan bintang-bintang di sana
juga sudah berubah ? Sudah berubahkah Tuhan Yang Maha Esa dari zaman ke
zaman. Keluarga adalah suatu amanat yang teramat penting bagi kita
semua, memenuhi kebutuhan sebuah keluarga adalah sebuah bentuk dharma
yang tinggi tetapi memenuhi pemujaan kita kepada Sang Pencipta bersifat
lebih tinggi, oleh sebab itu seseorang kepala rumah tangga harus
meninggalkan kehidupan duniawinya lambat laun walaupun ia tetap tinggal
di rumahnya dan mengabdikan dirinya demi Yang Maha Esa dan
ajaran-ajaranNya. Janganlah mati dengan sia-sia dalam keadaan masih
terikat dengan anak istri, mereka harus diajar menjadi mandiri semenjak
masa muda.
Sang
Maya, dalam bentuk ikatan keluarga ini selalu siap menyesatkan kita
dari jalan penitian spritual kita, karena memang itu tugasnya, tetapi
seandainya kita bertemankan para orang suci maka lambat laun persiapan
kita untuk menanggalkan kehidupan grhasta akan berjalan dengan mulus,
jadi carilah guru penuntun agar terselamatkan jiwa ragamu dari perangkap
Sang Maya, dan guru itu bisa siapa saja yang sudah mendapatkan sentuhan
spritual dari Tuhan Yang Maha Esa, bukan dari mereka-mereka yang
mengaku sudah menjadi Brahmana tetapi hanya bersifat teori dan masih
sibuk main sabung ayam.
5. Resi Narada bersabda :
“Pada
saat mencari nafkah secukupnya demi menunjang kehidupannya dan demi
perawatan jiwa dan raganya, seseorang yang terpelajar (pandita) wajib
tinggal di tengah-tengah masyarakat tanpa terikat dengan berbagai
masalah-masalah kekeluargaanya, walaupun demikian, secara eksternal ia
terkesan terikat kepada keluarganya.”
Keterangan
: Seseorang yang terpelajar dalam berbagai kaidah suci Hindu Dharma dan
menetrapkan ajarannya sesuai dengan yang seharusnya disebut sebagai
seorang pandit (pandita) yang berarti seorang yang terpelajar, dan ia
bisa saja berasal dari warna apa saja. Yang penting dihayati adalah
bahwa kehidupan sebagai manusia adalah medium ke strata spritual yang
lebih tinggi. Keluarga adalah salah satu dari medium tersebut yang
setelah sampai waktunya harus ditinggalkan juga dengan penuh kesadaran,
dengan begitu kita bisa meniti jalan evolusi spritual yang kita selalu
dambakan sehari-hari. Setiap manusia ingin moksha dan menuju ke sorga
tetapi jarang ada yang mau mati, apalagi mempersiapkan kematian yang
wajar dan satvik sifatnya penuh dengan kesadaran sejati, lalu kapan kita
akan moksha ?
6. Resi Narada melanjutkan sabdanya :
“Seorang
yang cerdas yang hidup di tengah-tengah masyarakat seyogyanya
merencanakan kehidupannya sehari-hari secara sederhana. Seandainya ia
mendapatkan berbagai masukan dan nasehat dari para sahabat,
putra-putrinya, orang tua, saudara atau orang-orang lainnya, ia wajib
menyetujuinya secara eksternal, tetapi secara internal ia harus
berketetapan untuk tidak menciptakan suatu kehidupan yang rumit, karena
kehidupan semacam itu tidak akan menghasilkan tujuan akan kehidupan
ini.”
Keterangan
: Begitu seseorang merubah kehidupannya sehari-hari ke arah spritual,
maka setiap anggota keluarga, sahabat dan handai tolan akan terkejut
melihatnya. Yang tadinya sangat duniawi tiba-tiba berubah menjadi sangat
sederhana, vegetarian dan lebih menyukai keheningan, dan sebagainya.
Maka khawatirlah mereka-mereka yang selama ini terlalu bersandar ke
kepala rumah tangga ini, mereka lalu berusaha menjegal dengan berbagai
nasehat yang bersifat duniawi agar sipemuja ini kembali jalan meteri
demi kelangsungan dan kenikmatan para pemberi nasehat ini. Seorang bakta
yang bijaksana di sloka di atas dianjurkan untuk menerima semua masukan
nasehat ini dengan lapang dada tetapi terbatas diluar hati saja, di
dalam hatinya ia harus selalu bertekad dengan penuh disiplin spritual
agar tidak terpengaruh jalan keTuhanan yang sedang dijalaninya itu.
Ciri-ciri seseorang yang bijaksana ini adalah ia selalu pasrah, penuh
percaya diri, sederhana dalam setiap tindak-tanduknya dan satvik dalam
menjalani berbagai aspek kehidupannya, ia pun memiliki kharisma dan ilmu
pengetahuan yang sejati dan nallluri intuisi yang tinggi.
7. ”Kebutuhan-kebutuhan
kehidupan yang bersifat alami diciptakan oleh Yang Maha Agung untuk
seharusnya dipergunakan menunjang raga semua mahluk hidup. Terdapat tiga
bentuk kebutuhan hidup ini. Yang diciptakan di langit (contoh : hujan,
udara dan sebagainya), yang diciptakan oleh bumi, (contoh : hasil bumi,
hasil tambang, dan kelautan, dan sebagainya), dan yang diciptakan di
atmosfir (yang bisa didapatkan oleh seseorang tanpa terduga sebelumnya
(contoh : keajaiban, nasib baik, keselamatan dan sebagainya).”
Keterangan
: Menurut ajaran Sanatana (Hindu) Dharma ada 8.400.000 bentuk kehidupan
di bumi ini, dan untuk setiap mahluk ini Yang Maha Esa telah
menyediakan kebutuhan dan sarana kehidupan yang sesuai dengan kodratnya.
Begitu Maha Pengasih dan Maha Penyayang Yang Maha kuasa ini sehingga
seekor semutpun telah dijamin makan minumnya beserta tempat tinggalnya,
tetapi seandainya seseorang berpikir bahwa dengan hanya bersembahyang
dan malas bekerja atau berusaha apa saja, seseorang akan diberikan
kehidupan yang gratis oleh Yang Maha Esa maka sia-sia saja kehidupan
orang tersebut, karena di dunia ini tidak ada sesuatu apapun yang
bersifat gratis, semua harus dibayar dengan karma dan yang satu ini
kompleks sekali dan mahal bayarannya.
Jauh
sebelum manusia diciptakan, Tuhan dalam bentuk bhur (bumi) ini selama
jutaan tahun memproses bumi ini dari zaman es ke seperti yang kita
tinggali saat ini, satu persatu elemen kehidupan dikeluarkan dari perut
bumi ini dibantu oleh Sang Surya dan Sang Chandra dan seluruh sistem
tata surya yang mengelilinginya ikut berpartisipasi dalam evolusi maha
karya ini, yang oleh para resi digambarkan sebagai proses pemutaran
Mandala-Giri. Setelah seluruh sarana penunjang kehidupan manusia seperti
fauna dan flora diciptakan barulah manusia secara bertahap diciptakan
dengan seluruh elemen ego, angkara murka dan sebagainya yang bersifat
asura dan dewa di gali dari bumi ini dan disertakan kepada manusia. Jadi
Tuhan dalam bentuk bumi memberikan juga kepada manusia elemen-elemen
kejeniusan, kebodohan, kebajikan dan kebatilan dan sebagainya untuk
menjalankan maha karya kehidupan ini sendiri, sebaiknya kita menghayati
misteri yang agung dan sulit dimengerti ini, dan jangan hanya terpaut
kepada kehidupan duniawi, materi, dan ritual saja. Hidup lebih berharga
dari pada semua itu. Pada saat ini bumi lebih mirip neraka dari pada
swarga yang pertama kali diciptakan oleh Yang Maha Pencipta. Manusia
dengan segala ketamakan dan kebodohannya, membabat hutan-hutan,
menetrapkan sistem ekonomi barat yang menguasai hajat hidup
bangsa-bangsa lain, bermain politik yang kotor dan melakukan peperangan
dimana-mana tanpa henti-hentinya, dan sehari-hari kita melihat bagaimana
lingkungan kita mencemari diri mereka sendiri dengan merokok, berjudi,
mengkomsumsi alkohol dan obat-obat terlarang, bahkan mentato tubuh
mereka, dan sebagainya. Tanpa pernah mau berpikir bahwa diperlukan
jutaan tahun untuk menciptakan manusia dan lingkungan hidup ini, dan
kita hanya mampu merusak dan sering itu atas nama agama, dan sebagian
itu malahan dengan anjuran para Brahmana dan penguasa keparat.
8. ”Seseorang
diperbolehkan untuk memiliki harta benda sesuai dengan kebutuhan jiwa
dan raganya, tetapi seseorang yang menginginkan lebih dari itu harus
dianggap sebagai pencuri, dan ia pantas dihukum oleh alam.”
Keterangan
: Di masa lalu baik di India maupun di Indonesia, masyarakat Hindu
berlimpah dengan hasil bumi dan kaya dengan adat kultur budayanya yang
penuh dengan sifat gotong-royong dan saling membantu, sehingga penduduk
desa selalu saling menunjang satu dengan yang lainnya.
Saat
ini manusia makin banyak dan lahan makin sempit, sistem ekonomi barat
yang terlalu bersifat materi telah merusak tatanan kehidupan manusia
yang seharusnya harmonis menjadi penuh dengan stress, kebutuhan
pendidikan yang memakan waktu yang lama dan banyak berakhir dengan
mubazir karena tidak tersedianya lapangan kerja.
Sloka
di atas mengajarkan kita untuk selalu membagi hasil pendapatan kita
bahkan diri kita sendiri dengan segala potensi kita kepada orang /
mahluk lain yang membutuhkannya di sekitar kita. Seandainya anda tidak
serahkah untuk membagi potensi ini, anda akan melihat akan melihat
timbal balik karmanya yang amat menakjubkan. Tuhan tidak pernah menutup
matanya untuk orang-orang seperti ini, hidup mereka tidak pernah
kekurangan karena merekalah sebenarnya orang-orang yang kaya dengan
berbagai hal, bukan orang kaya yang hanya bisa menyelewengkan kredit
bank dan kemudian merugikan bangsa dan negara, padahal sewaktu mati
nanti tidak seujung jarumpun dapat mereka bawa serta.
9. ”Seseorang
wajib bersikap (penuh kasih sayang) terhadap fauna seperti rusa, onta,
keledai, kera, tikus, ular, burung dan lalat dan sebagainya. Ibarat
mereka ini adalah putra-putrinya. Sebenarnya hewan-hewan yang lugu ini
tidak jauh berbeda dengan anak-anak kecil.”
Keterangan
: Sloka di atas mempertegas bahwa pengorbanan hewan itu tidak suci dan
tidak satvik sifatnya. Para hewan tidak memiliki akal budi ibarat
anak-anak balita yang belum sekolah dan tidak mengerti akan kehidupan
materi ini, bagi hewan-hewan ini hidup ini harus dijalani secara alami
dan di alam ini sudah ada predator untuk setiap fauna dan flora, manusia
cukup menggunakan yang diperlukan saja dan melestarikan yang lain demi
manusia dan anak cucunya sendiri, demi fauna-flora itu sendiri dan
akumulasi dari semua itu bersifat demi Sang Pencipta dan seluruh
ciptaanNya itu sendiri. Bukan dengan mecaru, karena kata mecaru berasal
dari kata Sansekerta caruya yang berarti sesajen yang terdiri dari hasil
panenan yang dipersembahkan kembali kepada Dewi Sri, tidak lebih dan
tidak kurang, titik. Tetapi oleh masyarakat kita sering hewan-hewan yang
tidak berdaya ini dikorbankan demi puasnya buta-kala dan dengan
iming-iming bahwa sang hewan korban ini akan mendapatkan kehidupan yang
lebih baik di masa-masa mendatang. Tetapi itu dilakukan pada zaman
Purana, yaitu sekitar 8000 ke 10.000 tahun yang lalu di mana peradaban
manusia masih primitif. Berbagai Purana saat ini adalah nara sumber bagi
kelanjutan agama Hindhu bukan sebagai sarana sembahyang atau penuntun
kehidupan kita. Purana telah digantikan posisinya oleh berbagai Veda
yang sarat dengan berbagai ilmu pengetahuan, dan Veda-Veda, berbagai
Purana dan berbagai Upanishad kemudian disarikan oleh ratusan resi yang
mengatas namakan Resi Vyasa kemudian menghasilkan maha karya
Bhagavat-Gita sebagai penuntun manusia di alam yang lebih beradab kini.
Kalau kemudian kita mau kembali ke zaman Purana yang berarti kuno,
bukankah itu suatu tindakan yang sia-sia dan munafik sifatnya, ingat di
Bhagavat-Gita Yang Maha Esa secara tegas menyatakan tidak menyukai
orang-orang atau Brahmana yang munafik. Di masa lalu banyak manusia
sakti yang berstatus Dwijati, mereka-mereka ini bisa mengorbankan hewan
atau manusia atas perintah atau petunjuk misterius Yang Maha Esa.
Misalnya Kresna menganjurkan perang kepada Arjuna dewi lestarinya
dharma, tentunya di dalam perang tersebut banyak manusia, hewan dan
mahluk-mahluk halus yang musnah tetapi pahala mereka adalah swarga,
karena mereka mati demi bangsa dan negara.
Tentanglah
dengan penuh kebajikan dan sifat-sifat ahimsa para pelaku caru ini,
sadarkanlah mereka bahwa sang hewan memang akan naik statusnya di masa
mendatang tetapi sang pelaku yang bukan Dwijati akan turun statusnya
akibat dikutuk oleh para hewan tersebut. Tidak mudah memang merubah
suatu adat yang sudah mengakar, tetapi Yang Maha Esa selalu menyediakan
sarana dan jalan bagi para bhaktanya yang bersedia berkorban demi sesama
mahluk, karena pada intinya itu berarti beryagna demi Yang Maha Kuasa
itu sendiri.
Di
Bali beberapa waktu yang lalu di suatu daerah tikus-tikus dimusnahkan
oleh masyarakat setempat, kemudian setelah itu masyarakat itu sendiri
yang ketakutan akibat perbuatannya, melakukan ngaben tikus. Dari suatu
pihak terkesan bodoh dan rancu perbuatan ini, mengapa harus diaben
seperti manusia kalau harus dibunuh dulu karena dianggap hama, dipihak
lain menunjukkan masyarakat tersebut sadar akan hukum karma yang pasti
akan menimpa mereka karena membunuh mahluk ciptaan Tuhan yang serba lugu
ini, lalu salah siapakah ini ? coba direnungkan, hama tikus terjadi
karena ular sawah sebagai predator mereka musnah akibat pemakaian
pestisida dan pupuk urea, hukum alam dipatahkan oleh manusia itu sendiri
dan akibatnya ditanggung oleh dirinya juga.
10. ”Walaupun
seseorang itu statusnya kepala rumah tangga dan bukan seorang
Brahmachari atau sanyasi ataupun berstatus Vanaprastha, ia seharusnya
tidak berusaha sekuat tenaga demi agama, demi pencarian harta benda
(sebanyak mungkin) ataupun demi pemuasan indra-indra tubuhnya. Walaupun
seseorang itu adalah kepala rumah tangga, ia seharusnya puas dengan apa
yang didapatkannya tanpa usaha yang menggebu-gebu demi pelestarian dan
pemeliharaan jiwa raganya secara bersama-sama, sesuai dengan tempat dan
zaman ia berada, dengan karunia Yang Maha Esa. Seseorang sebaiknya tidak
mengikat dirinya dengan ugra karma.
Keterangan
: Di dalam kepercayaan masyarakat Hindu dikenal 4 jenis dasar dari
tujuan kehidupan ini yaitu masing-masing adalah dharma, artha, kama dan
moksha ditambah beragama, pencapaian status ekonomi tertentu, pemuasan
berbagai nafsu duniawi dan indriyas dan sebagainya. Dari segi agama saja
banyak manusia fanatik menyelenggarakan berbagai upacara besar-besaran
dengan biaya yang tinggi demi pemuasan status dan gengsi belaka, demi
agama banyak yang berperang pada hal tujuan utama tidak dimengerti dan
banyak contoh-contoh lainnya yang tidak masuk akal sehat. Banyak yang
berpendapat setelah dharma, artha dan kama tercapai maka selanjutnya
harus mati-matian mencapai moksha, pada hal apa itu moksa sesungguhnya
belum pernah ada laporan yang datang dari ujung sana. Sloka di atas
jelas menegaskan bahkan moksha itu bersifat duniawi jadi seyogyanya
tidak perlu dipaksakan secara mati-matian atau secara fanatik.
11. ”Anjing,
orang yang hina dan orang yang tak boleh disentuh termasuk candalas
(pemakan anjing), semuanya ini wajib diperhatikan sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan mereka, semua kebutuhan ini seharusnya
didana-puniakan oleh setiap kepala keluarga. Bahkan istri seseorang yang
adalah ikatan yang terintim seseorang, harus dipersembahkan demi
pelayanan terhadap tamu, masyarakat dan semua orang pada umumnya.”
Keterangan
: Sloka sabda resi Narada di atas sekali lagi menjelaskan hak dari kaum
miskin, binatang-binatang kelaparan disekitar kita bahkan mereka-mereka
yang dianggap hina karena sesuatu dan lain hal, apalagi orang-orang
gila dan sebagainya.
Mempersembahkan
istri berarti sang istri ikut berpartisipasi dengan sang suami yang
merupakan wujud duniawi Sang Vishnu dan istri sebagai wujud Dewi Laksmi
shaktinya. Kerja sama rumah tangga dan masyarakat beserta seluruh
kegiatan spritual seandainya dilakukan dengan harmonis oleh setiap suami
(purusha) dan prakriti (istri) akan menghasilkan efek yang sangat
satvik sifatnya.
12. ”Ada
orang-orang tertentu yang menganggap bahwa istrinya adalah miliknya
pribadi yang tidak boleh dilibatkan atau diganggu-gugat, sehingga ia
membunuh dirinya atau orang-orang lain demi istrinya ini, bahkan mampu
membunuh orang tua dan gurunya spritualnya sendiri. Seandainya seseorang
mampu melepaskan keterikatan dengan istri semacam ini, maka ia akan
dapat “menguasai” Yang Maha Esa, Yang Tak Terkuasakan oleh siapapun
juga.”
Keterangan
: Ada jenis pria tertentu yang terlalu dikuasai oleh para istri mereka,
dan ada yang terlalu terobsesi oleh daya pikat kecantikan atau seksual
mereka, ada juga istri yang status sosialnya lebih tinggi dan ada yang
mampu mendatangkan harta, dan mereka-mereka ini mampu membuat para
suami bertekuk-lutut di depan mereka tanpa daya. Pria-pria yang lemah
ini mampu berbuat apa saja demi istri-istri mereka ini, para pria ini
bahkan mampu membunuh atau menyakiti orang lain demi membela
istri-istrinya ini. Oleh karena itu dikatakan seseorang pria itu sangat
beruntung seandainya ia memiliki istri yang seiman dengannya, ibaratnya
ia telah menguasai yang tak dapat dikuasai, karena kasus suami-istri
yang seratus persen seiman itu langkah sekali. Juga tidak berarti bahwa
Yang Maha Esa itu kalah dengan pria ini tetapi sebaliknya bhakta ini
begitu disayangi olehNya sehingga ia mendapatkan perlindungan total dari
Yang Maha Esa.
13. ”Melalui
budi dan upayanya yang selaras, seseorang seharusnya secara lambat-laun
menanggalkan keterikatannya dengan raga istrinya karena raga tersebut
secara pasti pada suatu saat kelak akan berubah menjadi cacing kermi,
kotoran dan abu. Berapakah harga dari raga yang tak berarti ini ? Betapa
lebih besar nilai Yang Maha Kuasa, Yang Maha Pengasih (pengisi) alam
semesta ini, ibarat bentangan langit yang luas dan tanpa tepi ini ?
Keterangan
: Ada tipe-tipe pria yang hidupnya melulu demi pemuasan seks istrinya
saja dan demi kemewahan duniawi yang tidak ada habis-habisnya tanpa mau
sadar bahwa suatu hari nanti semua kita ini akan mati dan disantap
cacing tanah. Tubuh ini sebenarnya tidak berharga kalau tidak bernyawa,
karena ayam dan itik sebenarnya lebih mahal kalau mati. Kehidupan rumah
tangga adalah suatu bentuk dharma yang tertinggi, yang harus disadari
dan dilepaskan suatu waktu nanti adalah keterikatannya, yang tidak
dilepas adalah Yang Maha Esa tempat kita harus menambatkan diri.
14. ”Seseorang
yang cerdas harus merasa puas dengan menyantap prashada (sesajen yang
dipersembahkan kepada Yang Maha Esa) atau dengan melakukan lima bentuk
yajna (Pancana-Suna). Dengan melakukan berbagai kegiatan ini, ia akan
melepaskan keterikatan dari raganya dan dari hal-hal yang berhubungan
dengan raga ini. Sewaktu seseorang ini mampu melaksanakan hal ini, maka
secara tegar ia akan memasuki status sebagai seorang mahatma.”
Keterangan
: Di masa yang silam manusia tidak pernah khawatir akan kekurangan
makanan atau perhatian atau sandang pangan karena semangat
kegotong-royongan yang masih tinggi di antara sesama warga.
Dewasa
ini sulit mendapatkan bantuan dari sesama kalau seseorang tidak bekerja
sehari-harinya. Pola konsumtif dan ekonomi Barat telah merasuki
kehidupan setiap bangsa sehingga semangat gotong-royong dan kehidupan
spritual semakin lama semakin pudar, dan yang timbul adalah
masalah-masalah sosial dan agama yang makin semu dan bernuansa rawan.
Seyogyanyalah seseorang aktif dalam berbagai kegiatan sosial, seni
budaya dan spritual secara sadar bahwa yang memerlukan suplemen bukan
saja raga kita tetapi juga jiwa (batin) kita juga memerlukan santapan
spritual demi pemuasan jiwa kita. Tetapi manusia-manusia sadar semacam
ini sudah langka di dunia yang serba bernuansa materi ini, jadi kalau
ada satu dua insan sejenis ini maka dikatakan ia adalah seorang mahatma
karena telah mencapai kesadaran yang penuh akan hakikat kehidupan ini.
15. ”Setiap
hari, ia wajib memuja ke Yang Maha agung yang bersemayam di dalam
kalbunya, dan berdasarkan pemujaan ini, ia juga secara terpisah wajib
memuja para dewa-dewi, para orang-orang suci, sesama manusia dan
berbagai mahluk hidup lainnya, memuja leluhur dan Sang Jati Dirinya.
Dengan cara ini ia akan mampu memuja Yang Maha Agung yang bersemayam di
dalam lubuk kalbunya.”
Keterangan
: Ternyata kita semua memerlukan medium dan tahap-tahap dalam penitian
kita ke pemujaan terhadap Yang Maha Esa. Banyak pemuja merasa dengan
berdoa saja kepada Tuhan sudah cukup. Dan mereka-mereka ini menganggap
persetan dengan pemujaan terhadap para guru, dewa dan leluhur, persetan
dengan semua pertemuan spritual dan yoga, meditasi dan sebagainya.
Ternyata pemikiran semacam ini salah. Diperlukan praktek dan disiplin
dan guru, serta medium di dunia ini dan dari dunia Niskala untuk secara
bertahap menghayati Tuhan Yang Maha Esa. Untuk mengenaliNya maka
kenalilah dulu mahluk-mahluk di sekitarmu dahulu, berbaktilah kepada
orang tua, guru dan mereka-mereka yang memerlukan cinta kasihmu, sayangi
dulu bumi Pertiwi tercinta ini dari mana kita semua berasal, sayangi
semua produk dari bumi ini yang menunjang kehidupan kita dan tanpa semua
itu mungkin hidup kita tidak lama. Kalau semua bakti secara sadar telah
terlaksana dengan baik barulah kita meniti ke bakti kita kepada Yang
Maha Kuasa. Manusia-manusia yang bersifat egois dan hanya mementingkan
diri mereka sendiri dan tidak bermanfaat bagi sesama mahluk tidak
memenuhi syarat untuk dekat denganNya walaupun sepanjang hari mereka
berdoa terus-menerus. Itulah sebabnya kita mengucapkan mantram suci Om
shanti-shanti-shanti. Sadarkah anda bahwa shanti yang pertama ditujukan
kepada bumi dan seluruh isinya shanti yang kedua untuk alam semesta dan
seluruh isinya dan shanti ketiga kepada kekosongan yang meliputi bumi
dan alam semesta, jadi bhur-bwah dan swah semuanya diberi salam shanti
dan otomatis kita dan semua mahluk dimohonkan kesejahteraannya. Tetapi
ucapan ini harus tulus dan dihayati secara baik, tanpa itu sia-sia saja
ucapan ini.
16. ”Sewaktu
seseorang memiliki harta dan ilmu pengetahuan dan menjalankannya dengan
penuh kendali, dan dengan kedua faktor tersebut ia mampu melaksanakan
yajna atau memuaskan Tuhan Yang Maha Agung, maka seharusnya ia
melaksanakan berbagai upacara yajna, agni-hotra-adina sesuai dengan
kaidah-kaidah yang terdapat di dalam berbagai sastra widhi. Dengan cara
ini ia seharusnya memuja Tuhan Yang Maha Agung.”
Keterangan
: Di dalam shastras dan Veda bukan saja terdapat bentuk ritual-ritual
yang di sebutkan di atas, Tetapi juga berbagai cara dan pelaksanaan
untuk membagi harta dan ilmu pengetahuan demi langgengnya
ciptaan-ciptaan Yang Maha Esa yang ada di sekitar kita.
Pada
zaman Satya-Yuga manusi yang hidup ratusan ribu tahun dapat beryadnya
dengan meditasinya (tapa-brata) dan di zaman Tirta-Yuga dengan berbagai
bentuk yajna yang mahal biayanya sedangkan di zaman Dvapara-Yuga, yajna
dilakukan di tempat-tempat ibadah seperti kuil dan pura. Di zaman Kali
ini manusia jarang mampu mencapai usia 80 tahun maka dianjurkan
melaksanakan pengorbanan atau persembahan dalam bentuk japa, sankirtana
yajna yaitu berbagai kegiatan sosial demi lestarinya manusia dan
mahluk-mahluk lainnya. Dan semua itu bisa dilaksanakan dengan ilmu
pengetahuan, atau harta benda atau tenaga fisik dan sebagainya. Sesuai
dengan kemampuan kita masing-masing. Zamannya ritual yang serba wah wah
sudah lewat, malahan upacara-upacara semacam ini meninggalkan beban
hutang dan stress yang teramat berat dan kalau hal ini kita biarkan maka
diperkirakan dalam kurun waktu seratus tahun lagi umur manusia akan
berkisar 30 tahun saja karena dilanda berbagai depresi dan lingkungan
hidup yang bermutu rendah.
17. ”Tuhan
Yang Maha Agung, Sri Kresna, adalah penikmat sesajen yang
dipersembahkan. Namun walaupun Beliau menikmati persembahan melalui agni
(api), wahai Raja yang kuhormati, Beliau lebih puas seandainya sesajen
terbuat dari gandum-ganduman dan ghee (mentega murni) yang
dipersembahkan kepadaNya melalui para Brahmana yang memenuhi syarat.”
Keterangan
: Di sini jelas-jelas Resi Narada memberikan petunjuk bahwa Yang Maha
Kuasa kurang berkenan dengan agni-hotra yang serba wah dan mahal
biayanya yang hanya menghambur-hamburkan berbagai jenis makanan dan
mantega untuk dilalap api dan jadi asap belaka, tetapi lebih baik kalau
semua itu diberikan kepada para Brahmana yang suci dan miskin yang tidak
mengharapkan pamrih sewaktu melaksanakan berbagai tugas suci untuk kita
semua. Para Brahmana ini bisa saja terdiri dari para pemangku,
sulinggih, pendeta, pedanda dan sebagainya yang sehari-harinya hidup
sederhana tetapi penuh dengan dedikasi dan bakti bagi masyarakat
sekitarnya. Tidak semua yang merasa lahir dengan kasta Brahmana berhak
menerima sesajen ini, tetapi hanya mereka-mereka yang secara kodrati
telah terpilih jalannya untuk mengabdi kepada sesama manusia.
Mereka-mereka yang sudah menyandang berbagai gelar Brahmana tetapi masih
menyantap telur, dan mahluk-mahluk hidup tidak bisa disebut Brahmana.
Sesajen yang diberikan kepada mereka tidak perlu dalam bentuk masakan
tetapi bisa berbentuk sesari atau yang belum dimasak. Biasanya kita
menyentuh sesajen tersebut dengan kedua telapak tangan kita sambil
mengucapkan Om Namo Sri Kresnam Saranam Gachami yang berarti
kupersembahkan ini atas nama Sri Kresna. Kalau sesajen itu diperuntukkan
pitra-yajna, maka ditambahkan sebuah doa lagi sama seperti di atas
tetapi nama Sri Kresna diganti dengan nama leluhur yang dimaksud, jadi
dua kali berdoa, pertama atas nama Sri Kresna dari yang kedua atas nama
leluhur.
18. ”Selanjutnya,
wahai raja yang kami hormati, persembahkan prashada (sesajen) ini
kepada kaum Brahmana dan kepada para dewa, dan setelah mempersembahkan
sesajen yang berharga ini dikau diperkenankan untuk membagi-bagikan
prashada ini ke mahluk-mahluk hidup lainnya sesuai dengan kemampuanmu.
Dengan cara ini dikau akan mampu memuja semua bentuk kehidupan atau
dengan kata lain, dikau akan mampu memuja intisari agung yang bersemayam
di dalam semua bentuk kehidupan ini.”
Keterangan
: Di dalam Manawa Dharma Shastra dan berbagai shastra-widhi lainnya
disinggung bahwa seandainya seseorang makan hanya untuk dirinya sendiri
maka yang dimakannya adalah dosa belaka, dan seandainya seseorang ingin
ke sorga sendiri maka ia tidak akan mendapatkan teman di sana. Inti sari
sesajen tidak perlu yang mahal atau berbentuk pameran kekayaan tetapi
untuk apa, siapa dan tujuannya. Di Bali buah-buahan ditusuk dengan lidi
lalu diatur di atas penampan, sesajen semacam ini tidak layak dihaturkan
kepada Yang Maha Esa karena buah-buahan tersebut sudah tidak satvik
lagi bentuknya karena sudah cacat akibat tusukan lidi dan tercemar oleh
bakteri, akhirnya buah-buahan ini tidak layak bahkan dikosumsi oleh
manusia yang menghaturkannya dan kemudian dikonsumsi oleh babi-babi
peliharaan. Sudah mahal, pamer kekayaan dan akhirnya babi yang
menikmati, lalu apa tujuan untuk dipersembahkan ? Di Jawa
saudara-saudara Hindu sedharma lebih satvik caranya, sesajen yang bisa
berupa apa saja dihaturkan secara sederhana bahkan ditutup dengan kain
bersih, kemudian setelah disembahyangi dimakan bersama sama dengan
keluarga bahkan langsung di Pura. Seseorang boleh saja beryajna dengan
menghaturkan darahnya sebagai donor darah setiap tiga bulan sekali
secara diam-diam dan tidak perlu digembar-gemborkan, ini pasti lebih
berkenan bagi Yang Maha Esa.
19. ”Seorang
Brahmana yang cukup berada wajib menghaturkan persembahan sewaktu
rembulan berada pada posisi gelap (setiap 2 minggu), pada akhir bulan
Bhadar. Dengan cara ini, ia wajib menghaturkan persembahan para sanak
saudara (dari) leluhur pada saat upacara-upacara Mahalaya yang
diselenggarakan pada bulan Asvina.”
Keterangan
: Upacara Mahalaya biasanya di India diselenggarakan pada tanggal 15
sewaktu posisi rembulan berada pada sisi yang gelap yang jatuh pada
bulan Asvina, berdasarkan perhitungan kalender Vedik.
20/23.“Seseorang
wajib melaksanakan upacara sradha pada saat Makarasankranti (suatu hari
di saat Sang Surya mulai bergerak ke utara) atau pada hari
Karkata-Sankranti, yaitu hari sewaktu Sang Surya mulai bergerak ke arah
selatan. Seseorang diharuskan melaksanakan upacara ini pada hari
Mesa-Sankriti dan pada hari Tula-Sankranti; melalui yoga yang disebut
Vyatipata; pada hari tersebut tiga tithis sang chandra bergabung, di
saat gerhana bulan atau gerhana matahari; pada hari ke 12 (tahun
rembulan); dan juga pada hari Sravana-Naksatra. Seseorang wajib
melaksanakan upacara ini pada hari Aksaya-trtiya, pada hari kesembilan
(tahun rembulan) di saat malam hari terasa terang pada bulan Kartika,
pada empat astaka saat musim salju dan musim dingin, pada hari ketujuh
(tahun rembulan) pada saat 14 hari dikala malam terasa terang pada bulan
Maha; di saat rembulan bulat penuh; atau tidak bulat penuh; hari-hari
dihubungkan dengan naksastras dari mana beberapa nama bulan ini berasal.
Seseorang juga harus melakukan upacara sradha pada hari ke dua belas
(rembulan) sewaktu saat tersebut berhubungan dengan salah satu
naksastras yang disebut Anuradha, Sravana, Uttara-phalguni, Uttarasadha
atau Uttara-bhadrapada. Dan juga seseorang harus melaksanakan upacara
ini pada saat hari kesebelas (rembulan) sedang bergabung dengan salah
satu dari Uttara-phalguni,Uttarasadha atau Uttara-bhadrapada. Terakhir,
seseorang harus melaksanakan upacara ini pada hari-hari yang berhubungan
dengan horoskop kelahirannya (Janma-naksatra) atau dengan
Sravana-naksatra.”
Keterangan
: Di dalam Bhagavat-Gita, bab VIII, sloka 24-25 tertulis jelas tentang
enam bulan pergerakan matahari ke arah utara, yang disebut sebagai
Uttarayana, atau jala utara. Dan kemudian disusul 6 bulan berikutnya
matahari bergerak ke arah selatan dan ini disebut daksinayana, atau
jalan selatan.
Pada
hari pertama Sang Surya mulai bergerak ke arah utara dan memasuki
wilayah Capricorn, dikenal dengan sebutan Makara-Sankranti, dan
selanjutnya sewaktu Sang Surya memulai gerakan ke arah selatan, dan
memasuki wilayah Cancer disebut sebagai Karkata-Sankranti. Pada kedua
hari yang khusus ini seseorang seharusnya melakukan upacara shradha.
Visuva-Sankranti juga disebut dengan nama Mewsa-Sankranti, di kala Sang
Surya memasuki wilayah Aries. Pada hari Tula-Sankranti, Sang Surya
memasuki wilayah Libra. Kedua hari ini tercipta hanya sekali dalam
setahun.
Vyatipata-yoga
adalah yoga yang sangat khusus yang berhubungan dengan perjalanan Sang
Surya dan Sang Chandra di alam semesta ini. Ada 27 jenis yoga dan
ketujuh-belas disebut Vyatipata-yoga. Hari yang khusus ini dianggap juga
sangat baik untuk melaksanakan upacara shradha.
Tithi
adalah sebutan dari jarak antara rembulan dan matahari (tahun
rembulan). Kadang-kadang sebuah tithi bisa saja kurang dari 24 jam.
Seandainya tithi dimulai setelah matahari terbit pada suatu hari
tertentu dan kemudian berakhir sebelum matahari terbit keesokan harinya,
maka tithi yang sebelumnya dan tithi yang selanjutnya akan bersentuhan
dalam jarak waktu 24 jam. Fenomena ini disebut tryaha-sparsa yang sering
disebut juga persentuhan antara tiga tithis.
Banyak
resi mengatakan bahwa upacara sradha sebaiknya tidak dilaksanakan pada
hari Ekadishi tithi, karena sang pelaksana dan para leluhur yang
menerima sradha ini semuanya akan masuk ke neraka termasuk sang pandita
yang melaksanakan upacara ini. Tidak ada keterangan yang spesifik
mengapa hal tersebut bisa terjadi. Semua keterangan di atas adalah
hal-hal yang berlaku di india sampai saat ini.
24. ”Semua
waktu (saat) yang jatuh di berbagai musim dianggap amat sangat sakral
dan bermanfaat untuk kemanusiaan. Pada saat-saat tersebut seseorang
seharusnya melaksanakan semua jenis pekerjaan dan aktifitas-aktifitas
yang bermanfaat dan suci sifatnya, karena dengan melaksanakan berbagai
aktifitas tersebut seseorang dapat mencapai kesuksesan dalam masa
kehidupannya yang singkat ini.”
25. ”Pada
saat-saat pergantian musim, seandainya seseorang mandi di sungai
Gangga, di Yamuna atau di tempat-tempat sakral lainnya, seandainya
seseorang menghaturkan puja, agni-hotra, atau melaksanakan nazar atau
bila seseorang memuja Yang Maha Esa, para Brahmana, leluhur, para dewa
dan semua mahluk hidup secara sama rata, apapun yang didana-puniakan
(didermakan) akan menghasilkan pahala abadi yang amat bermanfaat.’
26. ”Wahai
Raja Yudhistira, pada saat-saat yang telah ditentukan untuk
menyelenggarakan upacara-upacara ritual demi seseorang atau demi
anak-istri, atau selama upacara-upacara kematian dan upacara pada hari
kematian seseorang, maka diharuskan kepada seseorang untuk melaksanakan
upacara-upacara tersebut di atas yang bersifat sakral dan bermanfaat
karena menghasilkan imbalan yang besar dalam bentuk pahala.”
Keterangan
: Berdasarkan veda, banyak upacara yang harus dikerjakan seseorang pada
hari-hari baik seseorang atau secara garis besar keluarga dan
leluhurnya. Pada zaman Kali-Yuga ini semua Veda telah dirangkum ke
Bhagavat-Gita yang sering disebut sebagai Panca Veda atau Veda ke lima.
Sebaiknya agar tidak rancu bagi para pengikut ajaran Bhagavat-Gita untuk
mengacu kepada Bhagavat-Gita; di karya suci ini Sri Kresna telah
memberikan wejangan yang menegaskan bahwa Beliau itu sudah merasa
terpuaskan hanya dengan sekuntum bunga, air, buah-buahan. Pada saat yang
sama beliau juga mengatakan sebaiknya para pemujaNya selalu mengacu ke
shastra-widhi dan para orang-orang suci. Intinya shrada diharuskan,
tetapi pelaksanaannya sebaiknya tidak mubazir dan tidak buang-buang
uang, kalau ada harta lebih sebaiknya dipergunakan untuk shradha yang
berbentuk buku-buku suci yang dibagi-bagikan kepada mereka-mereka
yang membutuhkannya, berdonor darah untuk sesamanya dan lain sebagainya
yang sesuai dengan hati nurani dan kemampuan masing-masing individu.
Kami pribadi sebagai penerjemah buku suci ini mempunyai pengalaman yang
unik dalam hal ini. Sewaktu ibu kami suatu saat ke India pada tahun enam
puluhan beliau memberikan shradha di sunggai Gangga bukan saja untuk
para leluhur tetapi juga untuk semua anak-anak dan cucu yang masih hidup
hanya dalam bentuk sesajen beras dan dana punia untuk fakir miskin.
Yang kedua sebelum ibu kami ini meninggal dunia, 14 hari sebelumnya
beliau memanggil kami dan mengatakan bahwa beliau akan meninggal dunia
ini dengan segera dan satu-satunya putra yang dibebaskan dari melakukan
upacara shradha adalah kami, karena selama hidup beliau, kami sebagai
putranya selalu memijit ibu kami ini setiap malam karena beliau
menderita penyakit asma. Tentu saja hal ini menimbulkan problem di
kemudian hari setelah beliau meninggal dunia, karena keluarga besar kami
tidak mendapatkan instruksi yang sama, untuk mencari jalan keluarganya
maka setiap pelaksanaan shradha istri kami mengikuti upacara tersebut
tetapi kami pribadi tidak berpartisipasi tetapi setelah upacara selesai
kami pasti akan memakan sesajen yang tersisa.
27/28.Resi
Narada melanjutkan sabda-sabdanya, “Sekarang akan kuterangkan mengenai
tempat-tempat dimana pelaksanaan berbagai upacara agama sebaiknya
dilakukan. Di setiap tempat di mana hadir seorang Vaisnawa (pemuja
Vishu, Kresna Vasudewa, Narayana, Yang Maha Esa) adalah tempat yang
terbaik untuk melaksanakan sesuatu aktifitas yang sakral dan bermanfaat.
Tuhan Yang Maha Esa (Bhagavata) adalah penunjang seisi alam semesta
dengan seluruh ciptaan-ciptaan Beliau baik yang bergerak dan yang tidak
bergerak, dan sebuah lokasi yang berisikan simbol / arca Yang Maha Kuasa
dianggap sebagai sebuah tempat yang sakral. Lebih lanjut, lokasi-lokasi
di mana para Brahmana yang terpelajar mempelajari prinsip-prinsip
ajaran Veda berdasarkan ibadah-ibadah mereka, dan berdasarkan
tujuan-tujuan mendidik dan kasih-sayang, adalah tempat yang amat
bermanfaat dan sakral.”
Keterangan
: Di zaman yang serba sibuk ini, seandainya seorang Hindu berdiam di
tengah-tengah keramaian kota New York, dan di salah satu sudut
apartemennya ia meletakkan sebuah Bhagavat-Gita dan mempelajari kitab
suci tersebut sambil memuja Yang Maha Kuasa dalam bentuk Vishnu atau
Krishna, dapatkah tempat tersebut di atas dianggap sesuai dengan
penjelasan Resi Narada di atas. Jawabannya bisa karena para pemuja
Vishnu, Krishna dan Narayana dan semua wujud reinkarnasi Maha-Vishnu
Rama, Narasingha, Kresna dan lain-lain, disebut sebagai seorang
Vaisnawa, bahkan aliran Vishu juga disebut dengan nama yang sama.
Konon
di Kali-Yuga ini mandat penyelengaraan hajat besar alam semesta ini
sudah diserahkan kepada Sri Kresna-Vasudewa. Di zaman-zaman yang lampau
konon mandat tersebut dipegang oleh Dewa Brahma yang kemudian dialihkan
ke Dewa Shiva dan sekarang menurut versi Vaisnawa mandat pengelola alam
semesta beserta seluruh isinya dipegang oleh Maha-Vishnu dengan
berbagai manifestasi dan reikarnasinya dan buku suci hindu yang terutama
adalah Bhagavat-Gita. Namun masyarakat Hindu adalah masyarakat yang
bersifat universal dengan sekitar 1000 lebih aliran spritual, ada kesan
yang kuat sekali di India, bahwa setiap aliran / isme menghormati dan
ikut berpartisipasi dengan aliran lainnya. Contoh lain, Buddhisme juga
dianggap sebagai aliran Vaisnawa karena Sidharta Buddha Gautama adalah
reinkarnasi Sang Maha Vishnu yang ke sembilan, dan di India Buddhisme
tidak dianggap agama baru tetapi tetap merupakan kelanjutan dari
Sanatana Dharma, demikian juga Sri Satya Sai Baba dianggap melanjutkan
tradisi Sanatana Dharma ini. Semua aliran ini memakai satu simbol yang
sama yaitu AUM (OM) yang ditulis dengan berbagai aksara lokal termasuk
aliran Sikhisme yang Nabi sucinya disebut Guru Nanak.
29. ”
Lokasi-lokasi di mana berada kuil-kuil pemujaan Tuhan Yang Maha Esa,
Kresna (Hari) adalah dianggap sakral, dan juga lokasi-lokasi di mana
mengalir sungai-sungai suci yang disebut-sebut di berbagai pustaka
Purana penunjang berbagai Veda. Sesuatu hal yang bersifat spritual
seandainya dilaksanakan di tempat-tempat tersebut pastilah akan sangat
bermanfaat.”
Keterangan
: India dan Indonesia penuh dengan candi-candi dan berbagai
tempat-tempat suci dan keramat (sakral) baik yang terletak di
tengah-tengah hutan, sungai dan pegunungan. Semua tempat sakral atau
yang di sakralkan ini seyogyanya dihormati dan dipakai untuk memuja baik
secara hening atau dengan cara apapun juga yang wajar secara spritual,
jadi tidak perlu harus ke India tetapi di dunia ini lokasi-lokasi yang
sakral hadir di mana-mana, misalnya Stone-henge di England, berbagai
lokasi di Irian Jaya, di Australia, Amerika dan Kanada, belum yang tak
terhitung jumlahnya di seluruh pelosok Nusantara ini.
30/33.”Danau-danau
sakral seperti Puskara dan berbagai tempat di mana para kaum suci
pernah tinggal, seperti Kurusetra, Gaya, Prayaga, Pulaasrama,
Naimisaranya, tepian sungai Phalgu, Setubhanda, Prabhasa, Dvarka,
Varanasi, Mathura, Pampa, Bindu-sarovara, Badarikasrama (Narayanasrama),
Berbagai tempat di mana sungai Nanda mengalir, berbagai lokasi di mana
Prabu Ramachandra dan Bunda (Dewi) Shinta pernah singgah seperti
Citrakuta, dan berbagai bukit yang terkenal seperti Mahendra dan
Malaya............kesemua tempat-tempat suci ini dianggap sangat sakral
(keramat). Juga di mana pun di dunia ini di mana simbol-simbol Hare
(Yang Maha Kuasa) dipuja wajib dihormati dan dikunjungi dan boleh saja
seseorang yang berkeyakinan bahwa Tuhan Yang Maha Esa hadir di tempat
tersebut memuja atau bertapa-brata disitu. Pemujaan dan kunjungan
spritual pasti akan berdampak positif bagi mereka-mereka yang sedang
meniti jalan spritual ke hadirat Yang Maha Kuasa dan akan mendapatkan
pahala seribu kali lebih besar jika dibandingkan dengan pelaksanaan
ritual yang sama yang dilaksanakan di tempat-tempat lainnya (yang
bernuansa biasa).”
Keterangan
: Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasiNya sebagai Kresna Vasudewa
diberikan 1000 nama (Baca Vishu Sahasranama) dan berbagai wujud dan
attribut oleh para kaum bijak dari masa ke masa, dan Beliau dipuja
dengan berbagai cara di berbagai belahan bumi ini.
Karena
hanya ada satu Pencipta Yang Maha Esa, maka diperkenankan bagi penganut
Sanatana Dharma untuk bersujud dan memujaNya di mana saja, bahkan kalau
diperkenankan boleh saja di mesjid, gereja, vihara ataupun di gurun
pasir bahkan di taman bunga atau di tepi jalan raya, asalkan
diperhatikan bahwa lokasinya bersih. Lalu bolehkah penganut aliran
kepercayaan lainnya memuja dengan caranya sendiri di kuil atau di Pura
Hindhu, mengapa tidak, kalau kita beriman bahwasanya Tuhan itu Esa dan
Eka maka semua ciptaan Beliau pastilah baik dan sama derajatnya di mata
hati Beliau. Bhagavat-Gita menegaskan bahwa jalan apapun yang ditempuh
oleh seseorang dalam meniti perjalanannya ke arah Yang Maha Esa, maka
secara pribadi akan disambut olehNya.
34. ”Wahai
Raja bumi ini, telah ditetapkan oleh para ahli, para cendekiawan yang
piawai bahwasanya Hari Kresna Vasudewa adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang
didalamNya semua ciptaan ini terkandung dan dariNya semua ini hadir,
Beliau adalah Yang terbaik untuk dipuja dan dijadikan Tujuan bagi semua
persembahan.”
35. ”Wahai
Raja Yudhistira, para dewa-dewi, para resi dan kaum suci yang agung
termasuk keempat putra Sang Brahma dan aku secara pribadi hadir pada
saat dikau menyelenggarakan upacara yajna Rajasuya, dan pada kejadian
tersebut timbul pertanyaan (diantara yang hadir) siapakah yang
pertama-tama harus dipuja, dan semua yang hadir memutuskan pemujaan
pertama dipersembahkan kepada Sang Krishna, Yang Maha Esa.
Keterangan
: Ada protes pada waktu upacara tersebut oleh Sisupala musuh bebuyutan
Sang Krishna dan karena ia menantang Sri Krishna maka dalam suatu duel
yang teramat singkat binasalah Sisupala oleh hantaman Sri Krishna.
36. ”Seisi
alam semesta ini yang penuh dengan berbagai mahluk hidup, adalah ibarat
sebuah pohon yang akarnya adalah Sri Kresna yang disebut juga Acyuta.
Jadi hanya dengan memujaNya saja sebenarnya semua mahluk hidup termasuk
para dewa dan resi-resi agung sudah dipuja.”
37. ”Yang
Maha Esa (Anena = Dia) telah menciptakan berbagai tempat-tempat
(purani) di mana Beliau dapat bersemayam seperti : raga manusia, fauna,
burung, para kaum suci, para dewa-dewi, dan sebagainya. Di dalam semua
raga yang tak terhitung jumlahnya ini, Beliau hadir sebagai Paramatma.
Dengan demikian Beliau dikenal sebagai Purusavatara.
38. ”Wahai
raja Yudhistira, Sang Jati Diri (Jiwa Utama, Paramatma) yang bersemayam
di setiap raga memberikan daya intelegensia (kekuatan budi) kepada
setiap insan sesuai dengan kapasitas budi pekerti (pemahaman) individu
tersebut. Oleh karena itu Sang Jati Diri adalah seorang pemimpin utama
di dalam raga (setiap insan) yang bermanifestasi dan bersemayam di jiwa
manusia dengan perkembangan komparatif pengetahuan usaha-usaha spritual
dan berbagai karunia individu tersebut.”
39. ”Wahai
Raja yang kuhormati, sewaktu para resi dan kaum suci yang agung melihat
cara-cara tidak terhormat pada permulaan Treta-Yuga, maka mereka-mereka
ini lalu memperkenalkan pemujaan terhadap arca di dalam kuil-kuil
dengan segala tata-caranya (ritual-ritualnya) .”
Keterangan
: Konon pada zaman dahulu pemujaan kepada Yang Maha Esa dilakukan
kepada Sang Hyang Vishnu, tetapi kemudian setelah zaman satya-yuga
terjadi kontaminasi dan distorsi di kalangan para Brahmana yang korup,
khususnya para Vaisnawa (pemuja Vishnu). Akibatnya banyak Vaisnawa
dihina dan dicampakkan oleh para pengikut Sanatana Dharma lainnya. Pada
permulaan Treta-Yuga para kaum suci mengambil inisiatif dengan
memperkenalkan simbol-simbol dan arca para dewa-dewi di berbagai kuil
yang dahulunya kosong karena Yang Maha Kuasa di artikan dan didentikkan
dengan kekosongan (dhyana-Yuga). Selanjutnya pada zaman Dvapara-Yuga
sampai saat ini (Kali-Yuga) pemujaan terhadap arca dan simbol-simbol
makin meningkat intensitasnya, sebenarnya yang murni adalah pemujaan
terhadap yang tidak berwujud tetapi dilandasi dengan fondasi filosofi
yang kuat, Dewasa ini pemujaan sedang bergeser ke bentuk
japa-mantra-dhyana (meditasi).
Dunia
Barat dan mereka-mereka yang efisien lebih menyukai cara ini, dan di
Asia ini kedua cara tersebut di atas masih dilakukan secara bersama-sama
atau tersendiri. Lahirnya Avatara Vishnu dalam manifestasi Sidharta
Buddha Gautama sekitar 4000 tahun yang lalu merupakan reformasi terhadap
kine-kerja para Brahmana yang buruk tersebut. Pada saat itu
Bhagavat-Gita dan Veda-Veda tidak diajarkan kepada kaum awam dengan
berbagai alasan, pada hal sebenarnya para Brahmana keparat ini khawatir
terjadinya pembangkangan terhadap tingkah laku mereka yang korup, sama
seperti yang terjadi di Bali dewasa ini, syukurnya kaum muda dan
pengikut Hindhu Dharma di luar Bali mulai memprotes kine-kerja Brahmana
Bali yang serba mahal dan melenceng dari jalur Veda yang seharusnya.
Baik di India maupun di Bali sampai kini masih terdapat golongan
Brahmana yang melakukan pemiskinan moral dan harta benda para pemuja
dengan cara-cara yang licik dan business-like dari pada mengajar secara
benar. Sesajen-sesajen yang berlebih-lebihan, biaya penyelengaraan yang
aduhai dan upacara-upacara yang ngawur diselenggarakan demi lestarinya
dapur Sang Brahmana tersebut dan demi bertahannya kaum Brahmana ini
secara dominan.
Di
masa lalu Sang Buddha tidak diarcakan tetapi dengan masuknya pengaruh
Alexandar yang menjajah India maka Sang Buddha pun di arcakan karena
arca Alexander ini diagung-agungkan di mana-mana sebagai seorang yang
agung, pada hal ia adalah seorang penjajah yang tidak pernah puas dengan
gelimangan darah yang tidak ada habis-habisnya. Ajaran Buddha dewasa
ini sudah menjadi ratusan aliran dan berpredikat agama, pada hal Sang
Buddha sampai akhir hayatnya tidak pernah ganti agama, dan Omkara
beserta Swastika oleh Beliau tetap dijadikan pedoman dan simbol
ajaran-ajaranNya. Di India sampai kini tidak ada dirjen agama Hindu
maupun Buddha, departemen agama saja tidak eksis dan ktp tidak memuat
identitas agama. Seandainya di Indonesia pengikut Buddhisme dan
Hinduisme mau bersatu di bawah satu bendera Sanatana Dharma seperti
aslinya dan tidak merasa yang satu turunan Tionghoa dan yang satunya
lagi pribumi, ditambah aliran-aliran kepercayaan yang basisnya memang
Hindu, maka akan terdapat sekitar 20 sampai dengan 25 juta pengikut
dharma dan faktor ini bisa menjadi kekuatan yang besar baik secara
spritual maupun di arena politik.
40. ”Kadang-kadang
seorang pemuja yang penuh dengan iman menghaturkan berbagai
ritual-ritual pemujaan kepada Yang Maha Kuasa dengan memuja arca
dewa-dewa tertentu, tetapi pemuja ini sering iri hati (memandang rendah)
kepada para pemuja Vishnu, maka Yang Maha Esa Tidak pernah merasa puas
dengan pemujaannya.”
Keterangan
: Banyak pemuja karena iman mereka yang sempit, hanya tertarik untuk
memuja simbol-simbol atau arca-arca tertentu dan tidak mensakralkan yang
lainnya. Hal ini secara spritual bisa berdampak negatif, karena yang
utama adalah penghayatan akan arti dan hakikat dari dharma itu sendiri,
tanpa itu sang pemuja hanyalah pemuja patung mati belaka. Di sisi lain
sementara arca memang bisa menimbulkan vibrasi prana yang dashyat sesuai
dengan misi Yang Maha Kuasa di lokasi-lokasi pemujaan tertentu. Untuk
meniti jalan dharma yang benar diperlukan seorang guru atau / lebih
untuk menuntun kita ke jalan dan pengertian yang benar bisa-bisa malahan
menyesatkan pikiran kita yang gelap. Jadi banyak berdiskusi, berguru
dan berasosiasi dengan para kaum bijak dan suci pasti akan berdampak
sangat positif dalam pemahaman jalan spritual kita semua. Menurut sabda
Resi Narada di atas pemujaan terhadap arca tanpa pemahaman yang benar
tidak cukup bagi sang pemuja maupun yang dipujanya.
41. ”Wahai
Raja yang kuhormati, di antara semua insan, seorang Brahmana seharusnya
diterima sebagai yang terbaik di tengah-tengah dunia yang serba
bernuansa materi ini, karena Brahmana tersebut, dikarenakan oleh
berbagai upaya spritualnya, pelajaran-pelajaran Vediknya, telah mencapai
suatu bentuk keharmonisan (dengan Yang Maha Esa), ia kemudian ibaratnya
telah menjadi salah satu instrumen dari Yang Maha Kuasa itu sendiri.”
Keterangan
: Seseorang Brahmana yang telah mencapai status Dwijati ini adalah
hamba Tuhan yang tanpa cacat dan cela dan merasakan dirinya tidak lebih
dan tidak kurang dari sebuah alat kecil di tangan Yang Maha Kuasa yang
tak terukurkan kekuasaanNya. Hamba sejati ini selalu bersifat rendah
diri ibarat padi bunting dan bagi para pemuja ia akan dihormati seorang
utusan atau wakil dari Yang Maha Esa itu sendiri.
42. ”Wahai
Raja Yudhistira yang kuhormati, para Brahmana khususnya mereka yang
selalu mengajarkan keagungan Yang Maha Kuasa ke seluruh penjuru dunia
diakui dan dipuja oleh Yang Maha Kuasa, yang merupakan inti-jiwa dari
semua ciptaan. Para Brahmana ini, dengan ajaran-ajaran mereka,
mensucikan ketiga loka dengan daki (debu) yang melekat di kaki padma
mereka, dan oleh karena itu mereka pun layak untuk dipuja oleh Sang
Kresna (Yang Maha Penyayang).”
Keterangan
: Jadi inti sari atau pesan yang tersirat di sloka ini adalah
bahwasanya pemujaan secara ritual itu sah-sah saja, tetapi penghayatan
akan hakikat Yang Maha Esa dan penalarannya lebih di utamakan oleh Yang
Maha Esa itu sendiri, bakti seseorang kepadaNya tanpa pamrih membuat
bahkan Yang Maha Penyayang itu sendiri memuja dan menghormati sekaligus
menjaga para baktanya dengan caranya sendiri (baca kisah mengenai
Sudharsana cakra di akhir buku ini).
Hubungan
intim antara Sri Kresna dan para hamba-hambanya adalah jalinan hubungan
yang misterius dan gaib, begitu menawan dan “memabukkan” setiap
bhaktanya ibarat sang bhakta selalu terintosikasi oleh nektar spritual
ini. Sang bakta dan Yang Maha Esa selalu saling membutuhkan, menyayangi
dan intim satu dengan lainnya. Pengalaman spritual ini juga dialami oleh
para sufi, para kaum suci dari berbagai agama dan kepercayaan lain.
Para bakta dan Yang Maha Esa selalu saling memproteksi satu dengan yang
lain karena mereka telah manunggal, menyatu dalam kesatuan Ilahi yang
harmonis dan selaras walaupun para bakta ini masih menyandang raga.
Fenomena ini disebut Manunggaling Kawula Gusti dalam ajaran kejawen dan
merupakan dambaan setiap pemuja Tuhan yang lugu dan semua itu bisa
terwujud tanpa disadari oleh sang pemuja ini.
http://agamakuhindu.blogspot.co.id/2011/07/bhagavata-purana-bab-i-kehidupan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar