INFO

Senin, 14 Desember 2015

PINANDITA


PEMANGKU
Dalam agama Hindu ada penyebutan istilah Pandita dan Pinandita. Kata Pandita berasal dari akar kata “Pand”, yang artinya mengetahui. Penyebutan istilah Pandita ini, diberikan kepada seseorang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai ilmu pengetahuan suci Weda serta memiliki sifat yang arif dan bijaksana. Dan untuk memperoleh tingkat atau status Pandita, seseorang harus melakukan upacara penobatan yang dikenal dengan Padiksan atau Dwijati.
   Sedang kata Pinandita, dasar katanya adalah Pandita, mendapat sisipan “in”, yang artinya di. Jadi pengertian Pinandita disini ialah seseorang yang di Panditakan atau  dianggap sebagai wakil Pandita. Hal ini sesuai dengan hasil keputusan Maha Sabha ke II PHDI Pusat Tahun 1968, dimana diperkenalkan istilah Pinandita. Adapun yang termasuk sebagai Pinandita disebutkan : Pemangku, Wasi, Mangku Dalang, Mangku Balian/Dukun, Pangemban, Dharma Acarya. Guna mencapai tingkatan status Pemangku (Pinandita) inipun melalui upacara sakralisasi sidhi yang disebut Pawintenan. Didalam beberapa lontar dan juga keputusan dari Jawatan Agama Propinsi Bali No.85/Dh.B/SK/U-15/1970, tanggal 20 April 1970 serta Keputusan Seminar aspek-aspek agama Hindu di Amlapura Bali menyebutkan bahwa ada beberapa tingkat upacara Pawintenan antara lain :
1.    Pawintenan Saraswati ( awal mempelajari agama).
2.    Pawintenan Bunga ( Pewintenan setelah dewasa, setelah naik kelih ( setelah akil balik), biasanya untuk memulai sesuatu pekerjaan misalnya sebagai penari, guru,  pemahat, tukang dan sebagainya, supaya hasilnya berbunga-bunga ).
3.    Pawintenan Sari ( Pawintenan setelah berumah tangga, bisa naik turun dipura kayangan tertentu atau dipura tempat mewinten, bisa memimpin persembahyangan di keluarga).
4.    Pawintenan Mapedamel/Medilah ( Upacara ini lebih tinggi setingkat dari Pawintenan Sari, dan seseorang diberi gelar : Jero Mangku dan yang bersangkutan sudah boleh melakukan Loka Pala Sraya ).
5.    Pawintenan Samkara Eka Jati ( Upacara pawintenan ini lebih tinggi setingkat dari Pawintenan Mapedamel/Medilah dan menjadikan seseorang sebagai  Jero Gede ).           
Untuk mengetahui lebih dalam mengenai arti kata Pawintenan, tidak lain adalah mohon waranugraha Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dalam prabawanya sebagai Sanghyang Guru, yang memberi tuntunan, Sanghyang Gana memberi perlindungan dan membebaskan segala bentuk rintangan, dan Sanghyang Saraswati sebagai pemberi anugrah ilmu pengetahuan suci weda. Sedang kata Pawintenan itu sendiri   berasal  dari akar kata  Wintan  atau Intan   (berlian), permata  yang memberikan cahaya kesucian bagi mereka yang telah melaksanakan upacara Pawintenan sebagai Pemangku (Pinandita).
Walupun Pemangku (Pinandita) ditetapkan selaku pembantu mewakili Pandita, sudah tentu batas kewenangannya tidaklah akan menyamai kewenangan Pandita. Hanya dalam keadaan tertentu khususnya diluar Bali Pemangku (Pinandita) diperkenankan mewakili Pandita, untuk mengantar semua yajna dengan tata cara yang berlaku bagi seorang Pemangku (Pinandita).

PEMILIHAN DAN PENETAPAN PEMANGKU (PINANDITA).
Pemilihan dan penetapan seorang Pemangku (Pinandita) yang akan ditugaskan di suatu Pura pada umumnya diambil dari para penyungsung pura yang bersangkutan. Tata cara pemilihan dan penetapan Pemangku (Pinandita), antara satu pura dengan pura yang lain tidak selalu sama. Ada beberapa cara yang ditempuh dalam memilih dan menetapkan Pemangku (Pinandita) antara lain  :
a)      Ditetapkan berdasarkan keturunan dari Pemangku (Pinandita) sebelumnya.
b)      Melalui pemilihan.
c)      Dengan cara nyanjan atau matuwun.
d)      Dengan cara lekesan atau sekar.
Dalam pemilihan dan penetapan Pemangku (Pinandita) tersebut, cara manapun yang ditempuh pada dasarnya unsur ketulusan dan kesepakatan diantara para penyungsung pura itu sangat menentukan dan perlu diperhatikan agar jangan sampai terjadi sengketa yang menyangkut Kepemangkuan (Kepinanditaan) itu sendiri. Oleh karena Pemangku (Pinandita) dalam tugasnya sehari-hari di pura sangat erat kaitannya dengan hal-hal kesucian, maka perlu didukung dengan sikap yang tulus ihklas berlandaskan yajna, antara yang ditugaskan sebagai Pemangku (Pinandita) maupun yang memilih atau yang akan menggunakannya. Dengan landasan ketulusan hati itu, akan dapat mendukung kemantapan pelaksanaan tugasnya nanti.

SYARAT-SYARAT MENJADI PEMANGKU (PINANDITA).
Menjadi seorang Pemangku (Pinandita) harus memenuhi persyaratan tertentu dalam sastra suci meliputi fisik, susila/moral, mental spiritual, pengetahuan (Dasar, Inti, Penunjang). Secara terinci syarat-syarat itu dapat diuraikan sebagai berikut :

A.    SYARAT FISIK.
Menurut naskah Siwa Sasana, sebagai Pemangku (Pinandita) telah ditentukan syarat-syarat yang menyangkut fisik seperti : tidak cedangga (cacat), pincang, bongkok, bisu, tuli, sakit-sakitan dan lain-lain. Demikian pula Parisada Hindu Dharma Pusat dalam Keputusan Mahasabha ke II Tahun 1968 menetapkan pula syarat-syarat kesehatan lahir-bathin bagi mereka yang akan menjadi Pemangku (Pinandita). Dengan terpenuhi syarat fisik diharapkan para Pemangku (Pinandita) akan dapat menunaikan tugasnya di masyarakat dengan baik. Hal ini dipandang cukup penting, mengingat bahwa Pemangku (Pinandita) mengemban tugas “Loka palasraya”, yaitu tugas untuk melayani umat dalam pelaksanaan ibadah agamanya, yang memerlukan ketangguhan fisik yang prima. Dan tidak jarang seorang Pemangku (Pinandita), harus memuja ditempat yang jauh dan bahkan juga sampai larut malam. Untuk itu diperlukan kondisi fisik yang mendukung. 

B.    SYARAT KESUSILAAN.
Dharma adalah merupakan pegangan hidup bagi Pemangku (Pinandita), sebagai landasan terpenting dalam mengamalkan ajaran Yama dan Niyama Brata dengan baik dan sempurna. Disamping itu syarat kesusilaan merupakan syarat yang paling mendasar yang harus dipenuhi sebelum mempelajari Weda. Naskah Siwa Sasana menegaskan syarat kesusilaan selalu berpegang teguh pada pedoman dasar kebijaksanaan, bersih dan bersusila. Syarat kesusilaan ini dikukuhkan pula oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat dalam Keputusan Mahasabha ke II Tahun 1968 yaitu menetapkan adanya syarat berkelakukan baik serta tidak pernah tersangkut perkara bagi setiap calon Pemangku (Pinandita).

C.    SYARAT MENTAL SPIRITUAL.
Dikaitkan dengan tugas kewajiban seorang Pemangku atau Pinandita (Loka palasraya) cukup berat yaitu melayani umat dalam hidupnya untuk mencapai kebahagiaan hidup lahir dan bathin, maka bobot mental spiritual harus menjadi syarat yang sangat penting. Seseorang Pemangku (Pinandita) adalah abdi Sanghyang Widhi Wasa yang harus dekat secara bathin dengan Sang penciptanya. Oleh karena itu dia harus memiliki sifat-sifat yang penuh bakti seperti dinyatakan dalam kitab Pancamaweda Bhagawad Gita XII.13-14 yang menyebutkan antara lain :
“Mempunyai itikad kebajikan, sikap bersahabat dan ramah tamah, bebas dari rasa egoisme dan keangkuhan, sama dalam suka dan duka, rela memaafkan selalu prihatin, menguasai diri, bertekad teguh, mendedikasikan pikiran dan pengertian kepada Tuhan”.

D.    SYARAT PENGETAHUAN  (DASAR, INTI, PENUNJANG)
Syarat pengetahuan bagi Pemangku (Pinandita) dikelompokkan atas kelompok yaitu Kelompok dasar, kelompok inti dan kelompok penunjang.
1)  Kelompok dasar meliputi :
a) Pancasila.
b) Bahasa Indonesia.
c) Ilmu pengetahuan agama.
                                                        
2)  Kelompok inti meliputi :
a) Weda.
b) Upanisad.
c) Dharsana.
d) Itihasa.
e) Bhagawad Gita.
f) Purana.
g) Tantrayana.
h) Siwasidhanta.
i) Pujastuti.
j) Sasana (Lokapalasraya).
k) Acara agama.

3)  Kelompok penunjang meliputi :
a) Bahasa Jawa Kuno.
b) Bahasa Sansekerta.
c) Bahasa Inggris.
d) Hukum Hindu/adat.
e) Hukum Nasional
f) Sosiologi agama.
g) Psikologi agama.
h) Dharma Wacana.
i)  Dharma Gita.
j) Yoga/Dharma Sadhana.

SESANA PEMANGKU.
Kehidupan Pemangku sebagai Pinandita memiliki ciri khas tersendiri yang mengikat, disebut dengan Sesana. Sesana  merupakan  kode etik yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Adapun yang disebut dengan sesana sebagai kode etik adalah segala aturan dan tata tertib yang berhubungan dengan “Kawikon” (aturan-aturan kehidupan yang patut dilaksanakan oleh seorang Pemangku sebagai Pinandita).
Dalam agama Hindu sesana (kode etik) yang mengikat ini mendapat tempat yang utama, karena   didalamnya  tercermin  nilai-nilai etika  keagamaan  yang  selalu dipatuhi.
Bagi mereka yang mendalami hidup menjadi Pemangku (Pinandita), hendaknya dapat menghayati seluruh aturan-aturan yang bersifat mengikat itu, baik mengenai sikap perilaku maupun kemampuan spiritualitas yang dimiliki seorang Pemangku (Pinandita). Dengan mengetahui sesana (kode etik) ini, seseorang Pemangku (Pinandita) akan dapat menghindari berbagai pelanggaran terhadap aturan-aturan kepinanditaan. Kitab Silakrama menekankan bahwa seorang Pemangku (Pinandita) hendaknya dapat menguasai dan melaksanakan ajaran Panca Yama dan Niyama Brata.
Adapun aturan-aturan yang tertuang dalam ajaran Panca Yama Brata, yakni : Ahimsa (tidak menyakiti atau membunuh mahkluk lainnya), Brahmacari (mengabdikan seluruh hidupnya dengan selalu mendalami ajaran-ajaran kebenaran dan kesucian baik lahir maupun bathin), Satya ( selalu berpegang teguh pada janji dan kesetiaan terhadap nilai-nilai kejujuran), Awyawaharika ( tidak berselisih, tidak berjual beli dan tidak berbuat dosa karena kepintaran) dan Asteya (tidak mengambil milik orang lain tanpa persetujuan yang bersangkutan). Sedangkan aturan-aturan yang tertuang dalam ajaran Panca Niyama Brata, yakni : Akrodha (tidak suka marah), Gurususrusa ( berbakti kepada guru), Sauca (selalu menjaga kesucian diri), Aharalagawa (mengatur cara makan sesuai dengan kebutuhan dan tidak makan yang berlebihan), dan Apramada (tidak lalai dengan tugas dan kewajibannya).

KEWAJIBAN PEMANGKU SEBAGAI PINANDITA.
Ada dua hal pokok yang menjadi tugas dan kewajiban seorang Pemangku sebagai Pinandita yakni :
a.    Tugas Pemangku (Pinandita)  adalah berbuat sesuatu untuk menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup ( lahir dan bathin ) bersama dimasyarakat yang disebut Jagadhita. Adapun caranya adalah dengan memberikan tuntunan rohani dan pembinaan mental spiritual serta membangun kehidupan beragama dilingkungan masyarakat. Disinilah sesungguhnya arti penting dari Loka Palasraya, yakni menjadi sandaran umat dalam mewujudkan suatu kehidupan yang aman, damai dan sejahtera sering disebut dengan kasukerthan jagat.
   
       Disamping berbuat sesuatu untuk menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup umat, juga memohon keselamatan negara yang disebut dengan ngayasang jagat. Caranya dengan melakukan pemujaan setiap hari kehadapan Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana yang dilaksanakan dalam kegiatan Surya Sewana. Ada dua sasaran dalam pelaksanaan kegiatan surya sewana, pertama menyucikan diri lahir bathin dan kedua memohon keselamatan negara. Jadi dalam setiap pelaksanaan surya sewana, seorang Pemangku (Pinandita) memohon kehadapan Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, berupa asungkertha waranugraha baik kepada umat maupun negara tercinta.

b.    Kewajiban Pemangku (Pinandita).
Ada sepuluh kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang Pemangku (Pinandita) yang sering disebut dengan “Dasakramaparamartha”, yakni :
1)   Tapa: Teguh dan kuat pendirian dalam memuja Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa (Dewarcana).
2)   Brata: Melaksanakan disiplin bathin dengan mengurangi makan dan tidur serta tidak melanggar pantangan.
3)  Yoga: Melatih pernafasan (Pranayama), guna menyeimbangkan stulasarira dengan suksma sarira sebagai sarana menghubungkan diri dengan Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.
4)   Samadhi: Memusatkan pikiran ditujukan kehadapan Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, sehingga tidak terpengaruh oleh kondisi luar (nirwikara).
5)   Santa:  Berpikiran cemerlang dan berpenampilan tenang.
6)   Sanmata:  Berperasaan riang meskipun dalam menghadapi cobaan hidup.
7)   Maitri:  Senang mengatakan yang baik dan benar serta berperilaku santun.
8)   Karuna:  Senang bertukar pikiran dengan sesama, baik yang bersifat lahir maupun bathin dan selalu mengasihi sarwa tumuwuh.
9)   Upeksa:  Tahu akan perbuatan baik dan buruk, serta memberi bimbingan kepada orang yang belum memahami arti baik dan buruk.
10) Mudhita: Mencintai kebenaran dan memiliki budi pekerti yang luhur.

Demikianlah diungkapkan disini mengenai tugas dan kewajiban Pemangku (Pinandita), yang patut ditekuni didalam melaksanakan dharmanya sebagai rohaniwan.

WEWENANG PEMANGKU (PINANDITA).
 Walaupun status Pemangku (Pinandita) sebagai wakil Pandita, tentunya memiliki kewenangan didalam menyelesaikan upacara keagamaan (yajna) sepanjang tidak bersifat prinsipil dan inipun atas petunjuk dan seijin Pandita (Nabe). Adapun mengenai tingkat upacara yang dilaksanakan oleh seorang Pemangku (Pinandita), terbatas pada tingkat pedudusan alit. Kewenangan lain yang ada pada seorang Pemangku (Pinandita) yakni dalam upacara-upacara seperti :
a.    Menyelesaikan upacara Bhuta Yajna, sampai dengan tingkat menggunakan caru Panca Sata.
b.    Menyelesaikan upacara Manusa Yajna, diberi wewenang mulai dari bayi dalam kandungan (Garbadana) , sampai bayi satu Oton, Manek Bajang dan Pawidhi Widana tingkat kecil.
c.    Didalam menyelesaikan upacara Pitra Yajna, terbatas sampai dengan mendem sawa atau nitip geni. 

Adapun mengenai busana yang digunakan berikut kelengkapan sarana seorang Pemangku (Pinandita) antara lain :
a.    Rambut panjang atau bercukur.
b.   Pakaian/busana : Serba putih  yaitu: Kain putih, kampuh putih, baju putih, destar putih ( kepala tertutup semua, sangkul atau mungkus nangka ).
c.    Dalam melakukan pemujaan menggunakan : Bajra (Genta), Dulang, Pasepan, Sangku (tempat tirtha), Bunga, Gandaksata dll.

PENGHARGAAN TERHADAP PEMANGKU (PINANDITA).
Sebagai wujud penghargaan terhadap tugas dan kewajiban Pemangku (Pinandita) yang cukup berat itu, dalam Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu VI Tahun 1980 ditetapkan beberapa hak Pemangku (Pinandita) yakni :
a.    Bebas dari ayahan desa, sesuai dengan tingkat kepemangkuannya.
b.    Dapat menerima bagian sesari aturan/sesangi.
c.    Dapat menerima bagian hasil pelaba pura (bagi pura yang memiliki)

  Dalam pelaksanaannya dimasyarakat disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat maupun awig-awig yang telah disepakati, baik yang berlaku dilingkungan pura maupun desa adat.
 Diluar dari hak yang berupa penghargaan kepada para Pemangku (Pinandita) seperti tersebut diatas berdasarkan awig-awig di masing-masing desa adat Pemangku (Pinandita) sering juga diberi penghargaan berupa :
a.    Punia berupa pakaian setiap tahun sekali.
b.  Bilamana Pemangku (Pinandita) meninggal, untuk melaksanakan upacara pengabenannya, dibanyak desa telah mengatur dalam awig-awignya untuk membantu berupa biaya dalam jumlah yang tertentu. Khususnya bagi Pemangku (Pinandita) Kahyangan Desa.
c.   Secara insidentil terkadang Pemangku (Pinandita) juga diberikan penghargaan berupa pemberian dana punia oleh perorangan atau lembaga pemerintah. Namun hal ini tidaklah bersifat mutlak.
Melihat tugas kewajiban Pemangku (Pinandita) yang cukup berat sudah sepatutnya oleh desa adat mulai diusahakan peningkatan kesejahteraan para Pemangku (Pinandita), sehingga para Pemangku (Pinandita) akan dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan lebih baik.



http://wisdanarananda.blogspot.co.id/2014/12/tentang-pemangku-pinandita.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar