PEMANGKU
Dalam agama Hindu ada penyebutan
istilah Pandita dan Pinandita. Kata Pandita berasal dari akar kata “Pand”, yang
artinya mengetahui. Penyebutan istilah Pandita ini, diberikan kepada seseorang
yang memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai ilmu pengetahuan suci Weda
serta memiliki sifat yang arif dan bijaksana. Dan untuk memperoleh tingkat atau
status Pandita, seseorang harus melakukan upacara penobatan yang dikenal dengan
Padiksan atau Dwijati.
Sedang kata
Pinandita, dasar katanya adalah Pandita, mendapat sisipan “in”, yang artinya
di. Jadi pengertian Pinandita disini ialah seseorang yang di Panditakan
atau dianggap sebagai wakil Pandita. Hal ini sesuai dengan hasil
keputusan Maha Sabha ke II PHDI Pusat Tahun 1968, dimana diperkenalkan istilah
Pinandita. Adapun yang termasuk sebagai Pinandita disebutkan : Pemangku, Wasi,
Mangku Dalang, Mangku Balian/Dukun, Pangemban, Dharma Acarya. Guna mencapai
tingkatan status Pemangku (Pinandita) inipun melalui upacara sakralisasi sidhi
yang disebut Pawintenan. Didalam beberapa lontar dan juga keputusan dari
Jawatan Agama Propinsi Bali No.85/Dh.B/SK/U-15/1970, tanggal 20 April 1970
serta Keputusan Seminar aspek-aspek agama Hindu di Amlapura Bali menyebutkan
bahwa ada beberapa tingkat upacara Pawintenan antara lain :
1.
Pawintenan Saraswati ( awal mempelajari agama).
2.
Pawintenan Bunga ( Pewintenan setelah dewasa, setelah naik
kelih ( setelah akil balik), biasanya untuk memulai sesuatu pekerjaan misalnya
sebagai penari, guru, pemahat, tukang dan sebagainya, supaya hasilnya
berbunga-bunga ).
3.
Pawintenan Sari ( Pawintenan setelah berumah tangga, bisa naik
turun dipura kayangan tertentu atau dipura tempat mewinten, bisa memimpin
persembahyangan di keluarga).
4.
Pawintenan Mapedamel/Medilah ( Upacara ini lebih tinggi
setingkat dari Pawintenan Sari, dan seseorang diberi gelar : Jero Mangku dan
yang bersangkutan sudah boleh melakukan Loka Pala Sraya ).
5.
Pawintenan Samkara Eka Jati ( Upacara pawintenan ini lebih
tinggi setingkat dari Pawintenan Mapedamel/Medilah dan menjadikan seseorang
sebagai Jero Gede ).
Untuk mengetahui lebih dalam
mengenai arti kata Pawintenan, tidak lain adalah mohon waranugraha Sanghyang Widhi
Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dalam prabawanya sebagai Sanghyang Guru, yang memberi
tuntunan, Sanghyang Gana memberi perlindungan dan membebaskan segala bentuk
rintangan, dan Sanghyang Saraswati sebagai pemberi anugrah ilmu pengetahuan
suci weda. Sedang kata Pawintenan itu sendiri berasal dari
akar kata Wintan atau Intan (berlian), permata
yang memberikan cahaya kesucian bagi mereka yang telah melaksanakan upacara
Pawintenan sebagai Pemangku (Pinandita).
Walupun Pemangku (Pinandita)
ditetapkan selaku pembantu mewakili Pandita, sudah tentu batas kewenangannya
tidaklah akan menyamai kewenangan Pandita. Hanya dalam keadaan tertentu khususnya
diluar Bali Pemangku (Pinandita) diperkenankan mewakili Pandita, untuk
mengantar semua yajna dengan tata cara yang berlaku bagi seorang Pemangku
(Pinandita).
PEMILIHAN DAN PENETAPAN PEMANGKU (PINANDITA).
Pemilihan dan penetapan seorang
Pemangku (Pinandita) yang akan ditugaskan di suatu Pura pada umumnya diambil
dari para penyungsung pura yang bersangkutan. Tata cara pemilihan dan penetapan
Pemangku (Pinandita), antara satu pura dengan pura yang lain tidak selalu sama.
Ada beberapa cara yang ditempuh dalam memilih dan menetapkan Pemangku
(Pinandita) antara lain :
a)
Ditetapkan berdasarkan keturunan dari Pemangku (Pinandita)
sebelumnya.
b)
Melalui pemilihan.
c)
Dengan cara nyanjan atau matuwun.
d)
Dengan cara lekesan atau sekar.
Dalam pemilihan dan penetapan
Pemangku (Pinandita) tersebut, cara manapun yang ditempuh pada dasarnya unsur
ketulusan dan kesepakatan diantara para penyungsung pura itu sangat menentukan
dan perlu diperhatikan agar jangan sampai terjadi sengketa yang menyangkut
Kepemangkuan (Kepinanditaan) itu sendiri. Oleh karena Pemangku (Pinandita)
dalam tugasnya sehari-hari di pura sangat erat kaitannya dengan hal-hal
kesucian, maka perlu didukung dengan sikap yang tulus ihklas berlandaskan
yajna, antara yang ditugaskan sebagai Pemangku (Pinandita) maupun yang memilih
atau yang akan menggunakannya. Dengan landasan ketulusan hati itu, akan dapat
mendukung kemantapan pelaksanaan tugasnya nanti.
SYARAT-SYARAT MENJADI PEMANGKU (PINANDITA).
Menjadi seorang Pemangku (Pinandita)
harus memenuhi persyaratan tertentu dalam sastra suci meliputi fisik,
susila/moral, mental spiritual, pengetahuan (Dasar, Inti, Penunjang). Secara
terinci syarat-syarat itu dapat diuraikan sebagai berikut :
A. SYARAT FISIK.
Menurut naskah Siwa Sasana,
sebagai Pemangku (Pinandita) telah ditentukan syarat-syarat yang menyangkut
fisik seperti : tidak cedangga (cacat), pincang, bongkok, bisu, tuli,
sakit-sakitan dan lain-lain. Demikian pula Parisada Hindu Dharma Pusat dalam
Keputusan Mahasabha ke II Tahun 1968 menetapkan pula syarat-syarat kesehatan
lahir-bathin bagi mereka yang akan menjadi Pemangku (Pinandita). Dengan
terpenuhi syarat fisik diharapkan para Pemangku (Pinandita) akan dapat
menunaikan tugasnya di masyarakat dengan baik. Hal ini dipandang cukup penting,
mengingat bahwa Pemangku (Pinandita) mengemban tugas “Loka palasraya”, yaitu
tugas untuk melayani umat dalam pelaksanaan ibadah agamanya, yang memerlukan
ketangguhan fisik yang prima. Dan tidak jarang seorang Pemangku (Pinandita),
harus memuja ditempat yang jauh dan bahkan juga sampai larut malam. Untuk itu
diperlukan kondisi fisik yang mendukung.
B. SYARAT KESUSILAAN.
Dharma adalah merupakan pegangan
hidup bagi Pemangku (Pinandita), sebagai landasan terpenting dalam mengamalkan
ajaran Yama dan Niyama Brata dengan baik dan sempurna. Disamping itu syarat
kesusilaan merupakan syarat yang paling mendasar yang harus dipenuhi sebelum
mempelajari Weda. Naskah Siwa Sasana menegaskan syarat kesusilaan selalu
berpegang teguh pada pedoman dasar kebijaksanaan, bersih dan bersusila. Syarat
kesusilaan ini dikukuhkan pula oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat dalam
Keputusan Mahasabha ke II Tahun 1968 yaitu menetapkan adanya syarat
berkelakukan baik serta tidak pernah tersangkut perkara bagi setiap calon
Pemangku (Pinandita).
C. SYARAT MENTAL SPIRITUAL.
Dikaitkan dengan tugas kewajiban
seorang Pemangku atau Pinandita (Loka palasraya) cukup berat yaitu melayani
umat dalam hidupnya untuk mencapai kebahagiaan hidup lahir dan bathin, maka
bobot mental spiritual harus menjadi syarat yang sangat penting. Seseorang
Pemangku (Pinandita) adalah abdi Sanghyang Widhi Wasa yang harus dekat secara
bathin dengan Sang penciptanya. Oleh karena itu dia harus memiliki sifat-sifat
yang penuh bakti seperti dinyatakan dalam kitab Pancamaweda Bhagawad Gita
XII.13-14 yang menyebutkan antara lain :
“Mempunyai itikad kebajikan,
sikap bersahabat dan ramah tamah, bebas dari rasa egoisme dan keangkuhan, sama
dalam suka dan duka, rela memaafkan selalu prihatin, menguasai diri, bertekad
teguh, mendedikasikan pikiran dan pengertian kepada Tuhan”.
D. SYARAT PENGETAHUAN (DASAR, INTI,
PENUNJANG)
Syarat pengetahuan bagi Pemangku
(Pinandita) dikelompokkan atas kelompok yaitu Kelompok dasar, kelompok inti dan
kelompok penunjang.
1) Kelompok dasar meliputi :
a) Pancasila.
b) Bahasa Indonesia.
c) Ilmu pengetahuan agama.
2) Kelompok inti meliputi :
a) Weda.
b) Upanisad.
c) Dharsana.
d) Itihasa.
e) Bhagawad Gita.
f) Purana.
g) Tantrayana.
h) Siwasidhanta.
i) Pujastuti.
j) Sasana (Lokapalasraya).
k) Acara agama.
3) Kelompok penunjang
meliputi :
a) Bahasa Jawa Kuno.
b) Bahasa Sansekerta.
c) Bahasa Inggris.
d) Hukum Hindu/adat.
e) Hukum Nasional
f) Sosiologi agama.
g) Psikologi agama.
h) Dharma Wacana.
i) Dharma Gita.
j) Yoga/Dharma Sadhana.
SESANA PEMANGKU.
Kehidupan Pemangku sebagai
Pinandita memiliki ciri khas tersendiri yang mengikat, disebut dengan Sesana.
Sesana merupakan kode etik yang harus dipatuhi dan dilaksanakan.
Adapun yang disebut dengan sesana sebagai kode etik adalah segala aturan dan
tata tertib yang berhubungan dengan “Kawikon” (aturan-aturan kehidupan yang
patut dilaksanakan oleh seorang Pemangku sebagai Pinandita).
Dalam agama Hindu sesana (kode
etik) yang mengikat ini mendapat tempat yang utama, karena
didalamnya tercermin nilai-nilai etika keagamaan
yang selalu dipatuhi.
Bagi mereka yang mendalami hidup
menjadi Pemangku (Pinandita), hendaknya dapat menghayati seluruh aturan-aturan
yang bersifat mengikat itu, baik mengenai sikap perilaku maupun kemampuan
spiritualitas yang dimiliki seorang Pemangku (Pinandita). Dengan mengetahui
sesana (kode etik) ini, seseorang Pemangku (Pinandita) akan dapat menghindari
berbagai pelanggaran terhadap aturan-aturan kepinanditaan. Kitab Silakrama
menekankan bahwa seorang Pemangku (Pinandita) hendaknya dapat menguasai dan
melaksanakan ajaran Panca Yama dan Niyama Brata.
Adapun aturan-aturan yang
tertuang dalam ajaran Panca Yama Brata, yakni : Ahimsa (tidak menyakiti atau
membunuh mahkluk lainnya), Brahmacari (mengabdikan seluruh hidupnya dengan
selalu mendalami ajaran-ajaran kebenaran dan kesucian baik lahir maupun
bathin), Satya ( selalu berpegang teguh pada janji dan kesetiaan terhadap
nilai-nilai kejujuran), Awyawaharika ( tidak berselisih, tidak berjual beli dan
tidak berbuat dosa karena kepintaran) dan Asteya (tidak mengambil milik orang
lain tanpa persetujuan yang bersangkutan). Sedangkan aturan-aturan yang
tertuang dalam ajaran Panca Niyama Brata, yakni : Akrodha (tidak suka marah),
Gurususrusa ( berbakti kepada guru), Sauca (selalu menjaga kesucian diri),
Aharalagawa (mengatur cara makan sesuai dengan kebutuhan dan tidak makan yang
berlebihan), dan Apramada (tidak lalai dengan tugas dan kewajibannya).
KEWAJIBAN PEMANGKU SEBAGAI PINANDITA.
Ada dua hal pokok yang menjadi
tugas dan kewajiban seorang Pemangku sebagai Pinandita yakni :
a. Tugas Pemangku (Pinandita)
adalah berbuat sesuatu untuk menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup (
lahir dan bathin ) bersama dimasyarakat yang disebut Jagadhita. Adapun caranya
adalah dengan memberikan tuntunan rohani dan pembinaan mental spiritual serta
membangun kehidupan beragama dilingkungan masyarakat. Disinilah sesungguhnya
arti penting dari Loka Palasraya, yakni menjadi sandaran umat dalam mewujudkan
suatu kehidupan yang aman, damai dan sejahtera sering disebut dengan
kasukerthan jagat.
Disamping berbuat sesuatu untuk menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup
umat, juga memohon keselamatan negara yang disebut dengan ngayasang jagat.
Caranya dengan melakukan pemujaan setiap hari kehadapan Sanghyang Widhi
Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana yang dilaksanakan dalam kegiatan Surya
Sewana. Ada dua sasaran dalam pelaksanaan kegiatan surya sewana, pertama
menyucikan diri lahir bathin dan kedua memohon keselamatan negara. Jadi dalam
setiap pelaksanaan surya sewana, seorang Pemangku (Pinandita) memohon kehadapan
Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, berupa asungkertha waranugraha baik
kepada umat maupun negara tercinta.
b. Kewajiban
Pemangku (Pinandita).
Ada sepuluh kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh seorang Pemangku (Pinandita) yang sering disebut dengan
“Dasakramaparamartha”, yakni :
1) Tapa: Teguh dan kuat pendirian dalam
memuja Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa (Dewarcana).
2) Brata: Melaksanakan disiplin bathin dengan
mengurangi makan dan tidur serta tidak melanggar pantangan.
3) Yoga: Melatih pernafasan (Pranayama), guna
menyeimbangkan stulasarira dengan suksma sarira sebagai sarana menghubungkan diri
dengan Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.
4) Samadhi: Memusatkan pikiran ditujukan
kehadapan Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, sehingga tidak terpengaruh
oleh kondisi luar (nirwikara).
5) Santa: Berpikiran cemerlang dan
berpenampilan tenang.
6) Sanmata: Berperasaan riang
meskipun dalam menghadapi cobaan hidup.
7) Maitri: Senang mengatakan yang
baik dan benar serta berperilaku santun.
8) Karuna: Senang bertukar pikiran
dengan sesama, baik yang bersifat lahir maupun bathin dan selalu mengasihi
sarwa tumuwuh.
9) Upeksa: Tahu akan perbuatan
baik dan buruk, serta memberi bimbingan kepada orang yang belum memahami arti
baik dan buruk.
10) Mudhita: Mencintai kebenaran dan memiliki budi
pekerti yang luhur.
Demikianlah diungkapkan disini
mengenai tugas dan kewajiban Pemangku (Pinandita), yang patut ditekuni didalam
melaksanakan dharmanya sebagai rohaniwan.
WEWENANG PEMANGKU (PINANDITA).
Walaupun status Pemangku
(Pinandita) sebagai wakil Pandita, tentunya memiliki kewenangan didalam
menyelesaikan upacara keagamaan (yajna) sepanjang tidak bersifat prinsipil dan
inipun atas petunjuk dan seijin Pandita (Nabe). Adapun mengenai tingkat upacara
yang dilaksanakan oleh seorang Pemangku (Pinandita), terbatas pada tingkat
pedudusan alit. Kewenangan lain yang ada pada seorang Pemangku (Pinandita)
yakni dalam upacara-upacara seperti :
a. Menyelesaikan upacara Bhuta Yajna,
sampai dengan tingkat menggunakan caru Panca Sata.
b. Menyelesaikan upacara Manusa Yajna,
diberi wewenang mulai dari bayi dalam kandungan (Garbadana) , sampai bayi satu
Oton, Manek Bajang dan Pawidhi Widana tingkat kecil.
c. Didalam menyelesaikan upacara Pitra
Yajna, terbatas sampai dengan mendem sawa atau nitip geni.
Adapun mengenai busana yang
digunakan berikut kelengkapan sarana seorang Pemangku (Pinandita) antara lain :
a. Rambut panjang atau bercukur.
b. Pakaian/busana : Serba putih yaitu:
Kain putih, kampuh putih, baju putih, destar putih ( kepala tertutup semua,
sangkul atau mungkus nangka ).
c. Dalam melakukan pemujaan menggunakan
: Bajra (Genta), Dulang, Pasepan, Sangku (tempat tirtha), Bunga, Gandaksata
dll.
PENGHARGAAN TERHADAP PEMANGKU (PINANDITA).
Sebagai wujud penghargaan
terhadap tugas dan kewajiban Pemangku (Pinandita) yang cukup berat itu, dalam
Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu VI Tahun
1980 ditetapkan beberapa hak Pemangku (Pinandita) yakni :
a. Bebas dari ayahan desa, sesuai
dengan tingkat kepemangkuannya.
b. Dapat menerima bagian sesari
aturan/sesangi.
c. Dapat menerima bagian hasil pelaba
pura (bagi pura yang memiliki)
Dalam pelaksanaannya
dimasyarakat disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat maupun awig-awig
yang telah disepakati, baik yang berlaku dilingkungan pura maupun desa adat.
Diluar dari hak yang berupa
penghargaan kepada para Pemangku (Pinandita) seperti tersebut diatas
berdasarkan awig-awig di masing-masing desa adat Pemangku (Pinandita) sering
juga diberi penghargaan berupa :
a. Punia berupa pakaian setiap tahun
sekali.
b. Bilamana Pemangku (Pinandita) meninggal, untuk
melaksanakan upacara pengabenannya, dibanyak desa telah mengatur dalam
awig-awignya untuk membantu berupa biaya dalam jumlah yang tertentu. Khususnya
bagi Pemangku (Pinandita) Kahyangan Desa.
c. Secara
insidentil terkadang Pemangku (Pinandita) juga diberikan penghargaan berupa
pemberian dana punia oleh perorangan atau lembaga pemerintah. Namun hal ini
tidaklah bersifat mutlak.
Melihat tugas kewajiban Pemangku
(Pinandita) yang cukup berat sudah sepatutnya oleh desa adat mulai diusahakan
peningkatan kesejahteraan para Pemangku (Pinandita), sehingga para Pemangku
(Pinandita) akan dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan lebih baik.
http://wisdanarananda.blogspot.co.id/2014/12/tentang-pemangku-pinandita.html
http://wisdanarananda.blogspot.co.id/2014/12/tentang-pemangku-pinandita.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar